Pembahasan RUU Advokat Memicu Ketidakpastian Hukum

Selasa, 09 September 2014 – 15:05 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Advokat yang sedang dilakukan antara pemerintah dan DPR didesak untuk segera dihentikan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mereka beralasan pembahasan RUU Advokat sangatlah mepet. Selain itu,  Undang-Undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003 masih relevan digunakan dalam kondisi dan situasi saat ini.

Beberapa LSM yang mendesak pembahasan RUU Advokat dihentikan di antaranya adalah Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Kontras, Badan Perlindungan Konsumen, dan Setara Institut. "Kedepan, pembahasan RUU ini tidak usah dilanjutkan," tandas David Tobing, Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional Universitas Trisaksi (Usakti) dalam seminar bertajuk Quo Vadis Advokat Indonesia di Usakti, Jakarta Barat, Selasa (9/9).

BACA JUGA: KPK Kumpulkan Lembaga Negara Bahas Tata Kelola TKI

David menilai, keberadaan UU Advokat yang lama sudah mendukung proses standarisasi dan kualitas pemberian jasa hukum oleh advokat. Ini bisa dilakukan jika menerapkan singel bar. "Nah, jika RUU Advokat diloloskan, maka RUU tersebut berpotensi mengancam eksistensi standar mutu advokat dan akhirnya berujung pada buruknya jaminin perlindungan konsumen," tandasnya.

Selain itu menurut David, pembahasan RUU Advokat bisa memicu ketidakpastian hukum, sebab tidak ada satu lembaga khusus untuk memonitoring dan mengevaluasi advokat. Jika RUU tersebut disahkan, maka akan aturan itu bakal menerapkan sistem multi bar yang memungkinkan setiap organisasi advokat dapat membuat dewan kehormatan.

BACA JUGA: Bertemu Tim Transisi Jokowi-JK, Ini Pesan Marty!

"Pasal 32 ayat (1) RUU Advokat mengatur bahwa, 'Organisasi Advokat membentuk Dewan Kerhormatan'," tandasnya. Padahal, lanjut Davis, harus ada satu jaminan kualitas hukum dan pengaduan demi melindungi konsumen. 

Menurut David, sebaiknya dalam setiap aktivitasnya, advokat harus terikat dengan standar resmi yang ditetapkan. Sehingga sama sekali tidak ada peluang untuk mengadakan penyimpangan. Itu sesuai dengan amanat Pasal 3 hutuf d UU Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa perlindungan konsumen bertujuan menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengadung unsur kepastian hukum dan keterbukaan unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

BACA JUGA: KPK Tolak Pembebasan Bersyarat untuk Lima Napi Ini

Terpisah,Koordinator Kontras Haris Azhar mengatakan Peradi harus diaudit terlebih dahulu sebelum membuat UU. Menurutnya, sebagai wadah Advokat, Peradi harus dimintai pertanggujawaban. "Banyak kejanggalan dalam pembuatan RUU tersebut karena tidak dilengkapi naskah akademik dan tidak adanya audit terlebih dahulu terhadap lembaga atau wadah advokat yang ada saat ini. Mereka harus lakukan audit apa kekurangan dan kelebihan Peradi sehingga UU yang ada saat ini harus diubah,"kata Haris. (mas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tidak Teliti, Pelamar CPNS Ini Gagal Sebelum Tes


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler