Pembatalan Moratorium Remisi Terus Dikritisi

Hakim PTUN Dianggap Tak Berwenang Memutus SK Menteri

Senin, 12 Maret 2012 – 21:42 WIB

JAKARTA - Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang membatalkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM (Menhukham) tentang pembatalan moratorium remisi dan pembebasan bersyarat (PB) napi korupsi, terus dipersoalkan. Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) yang terdiri dari LSM dan tokoh pegiat antikorupsi, menganggap putusan PTUN itu sarat kejanggalan.

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (12/3) menyatakan bahwa SK Menhukham tentang pengetatan remisi dan PB sebenarnya tidak dapat diajukan ke PTUN. "Karena tidak bersifat final dan individual. Selain itu sesuai dengan Pasal 48 UU PTUN, ada proses keberatan dan banding administratif," kata Alvon.

Selain itu, kata Alvon, selama ini banyak pihak salah kaprah, termasuk Penggugat dan Hakim PTUN dalam memahami persoalan remisi dan PB. Ditegaskannya, remisi dan PB bukanlah Hak Asasi Manusia (HAM) seperti yang didalilkan di Putusan. Revisi dan PB, kata Alvon, adalah hak narapidana.

"Karena HAM adalah hak yang bersifat asasi dan asali, ada sejak manusia ada, ada bukan karena pemberian dari siapapun. Sedangkan hak narapidana adalah hak yang diatur di UU Narapidana, diberikan oleh negara, di mana syarat-syaratnya diatur setingkat Peraturan Pemerintah," bebernya.

Sedangkan Febridiansyah dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan, banyak kejanggalan dalam putusan PTUN yang membatalkan SK Menhukham. Menurut Febri, salah satu titik paling penting yang gagal dipertimbangkan hakim atau malah mungkin diabaikan, adalah klasifikasi penggugat. Sebab, para penggugat pada kenyatannya memang belum mendapat Pembebasan Bersyarat.

Selain itu, SK Menhukham itu sebenarnya bukan wilayah PTUN. "Jadi hakim tidak berwenang memeriksa perkara ini karena bukan objek Tata Usaha Negara," ucapnya.

Yang tak kalah penting, kata Febri, hakim tidak mempertimbangkan aspek pemberantasan korupsi. "Ini adalah salah satu pertimbangan substansial," tandas Febri yang terus mendorong Menhukham mengajukan banding.

Diberitakan sebelumnya, Rabu (7/3) lalu majelis hakim PTUN Jakarta menganggap Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang pengetatan remisi dan PB itu telah menyalahi aturan. Majelis hakim PTUN yang diketuai Bambang Heriyanto menyatakan bahwa SK Menhukham yang dikeluarkan pada 16 November 2011 dan tiga keputusan lainnya tentang pembatalan remisi terhadap tujuh narapidana korupsi, telah menyalahi UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Selain itu, majelis juga menganggap SK tersebut bertentangan dengan asas-asas pemerintahan yang baik. Gugatan itu diajukan oleh tujuh terpidana korupsi yakni Ahmad Hafiz Zawawi, Bobby  Suhardiman, Mulyono Subroto, Hesti Andi Tjahyanto, Agus Wijayanto Legowo, H Ibrahim, dan Hengky Baramuli. Para terpidana menunjuk Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa hukum untuk mengajukan gugatan. (ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Ingin Korupsi Kecil Ditangani Polisi dan Jaksa


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler