jpnn.com - JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik dan Hubungan Antar Lembaga Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Rachmat Hidayat mengatakan, penyumbang inflasi terbesar merupakan naiknya harga pangan dan produk pangan olahan.
Hal ini dikarenakan permintaan masyarakat yang tinggi produk olahan pangan. Karena itu, perlu penjagaan pada harga produk olahan untuk menjaga kestabilan harga di tingkat konsumen dan nilai inflasi.
BACA JUGA: Selamat, Saldi Isra jadi Komisaris Utama PT Semen Padang
Sedangkan kestabilan harga produk pangan olahan ditentukan oleh bahan bakunya. Setidaknya selama ini tiga faktor yang memengaruhi harga produk pangan olahan. Yakni ketersediaan bahan baku, harga yang kompetitif dan kualitas yang baik.
"Pemerintah perlu memperhatikan ketersediaan bahan baku produk pangan olahan ini, seperti jagung, kedelai dan lain sebagainya. Jangan sampai pengusaha kesulitan mendapatkan bahan baku dan harganya mahal. Kemudian keadaan itu mengancam produksi dan terpaksa menaikkan harga," ujar Rachmat di Jakarta, Rabu (11/5).
BACA JUGA: Rizal Ramli Sampaikan Pesan Jokowi Soal Blok Masela
Menurutnya, untuk memutuskan kebijakan pangan, bahkan terkait impor, pemerintah harus melakukan telaah menyeluruh dan konverhensif. Dalam kebijakan pembatasan impor, misalkan, ada impact yang besar pada bahan baku pangan olahan.
Jangan sampai kebijakan yang diambil akan menggangu kelangsungan hidup industri.
BACA JUGA: Bangun Rusunawa Lengkap Agar Santri Betah
"Saya tahu pemerintah mau menstabilkan harga lalu membebankan impor hanya pada Bulog. Tapi dengan monopoli impor ada hal yang mungkin tidak baik terjadi. Saya setuju saja apabila kedelai tersedia dan harganya kompetitif," katanya
"Bagi kami tidak masalah siapa yang impor, yang penting kelangsungan hidup industri ini ditentukan pasokan bahan baku yang tersedia dengan harga kompetitf dan kualitasnya konsisten," lanjut Rachmat.
Rachmat menyatakan, kekhawatiran pengusaha terkait kekurangan bahan baku sangat berdasar. Selama ini, produksi kedelai tidak sampai satu juta ton. Sedangkan kebutuhan nasional pertahun mencapai tiga juta ton.
"Lalu yang dua ton? Gimana apakah masayarakat disuruh puasa, atau hentikan konsumsi. Jika tidak berhenti konsumsinya, maka akan naik harganya. Hukum ekonomi berlaku, permintaan tinggi, dan tidak ada pasokan. Maka, harga naik luar biasanya," katanya.
"Dampak besarnya bagi pengusaha biaya produksi semakin tinggi. Itulah yang disebut biaya melakukan kebijakan perdagangan harus ditimbang sesuai tingkat manfaatnya," katanya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) M. Maulana menilai, pemerintah harus mewaspadai kenaikan harga jelang puasa.
Menurut dia, tanda-tanda kenaikan harga sudah terlihat di beberapa komoditas seperti bawang, cabai, beras bahkan daging. Jangan sampai ada kenaikan lagi pada komoditas lain. Jika kenaikan hanya berkisar 20 persen masih wajar. Namun jika lebih dari itu, harus segera diamankan.
Untuk menstabilkan harga, ia juga meminta pemerintah memerbaiki data. Saat in,i produksi pangan dinilai masih kurang untuk memasok kebutuhan masyarakat. Kendati demikian, data yang disajikan tidak menampilkan hal tersebut. Akibatnya pemerintah telat mengambil kebijakan terkait impor dan lain sebagainya.
"Kalau kurang banyak ya harus antisipasi, misalkan sudah tahu permintaan banyak di puasa, jelang puasa tiga bulan kalau mau impor ya lakukan. Jauh-jauh hari jangan mendadak. Kalau mendadak pasti dikasih harga mahal sam negara lain," ujar Maulana.
Kelambatan impor sempat dialami saat El Nino 2015 lalu. Keterlambatan mengakibatkan stok beras menurun. Akibatnya, harga terkerek disusul dengan berbagai bahan kebutuhan pokok. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemenhub Resmikan Tiga Stasiun, Serta Pengoperasian Jalur Ganda
Redaktur : Tim Redaksi