Pemberantasan Korupsi Dinilai Jalan di Tempat

Senin, 22 Oktober 2012 – 15:17 WIB
JAKARTA - Komunitas Pengusaha Antisuap Indonesia (KUPAS) dan Gerakan Nasional Indonesia Berintegritas (GNIB) menyoal sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang tidak kunjung merespon gagasan pemberlakuan UU Pembuktian Terbalik Murni (UU-PTM). Mereka menganggap slogan pemberantasan korupsi yang didengungkan pemerintahan SBY hanya sebatas jualan

“Sebetulnya KUPAS/GNIB sudah mengirimkan surat berisi gagasan pemberlakuan UU Pembuktian Terbalik Murni ke SBY, 23 April silam. Ini kami lakukan karena dalam dua kali kampanye Pilpresnya di tahun 2004 dan 2009, SBY menjanjikan program pemberantasan korupsi. Apalagi dia sudah berkali-kali menyatakan akan memimpin langsung perang melawan korupsi. Sayangnya, sampai kini janji-janji kampanye dan pernyataan perang melawan korupsi itu tidak kunjung terbukti,” kata Koordinator GNIB, Mulyadi Mamoer, di Jakarta, Senin (22/10).

Di tempat yang sama, Ketua KUPAS bidang Good Corporate Governance (GCG) Utama Kayo menjelaskan, KUPAS/GNIB sudah pesimistis terhadap komitmen SBY selaku presiden untuk pemberantasan korupsi. Pasalnya, dari waktu ke waktu kasus-kasus korupsi yang melibatkan para pejabat publik kian merajalela. Pelantikan dan promosi terpidana korupsi sebagai pejabat seperti belum lama ini terjadi, makin menunjukkan bukti rendahnya komitmen pemerintah memberantas korupsi.

“Dalam surat ke SBY per 23 April silam, kami bahkan memberi semacam tenggat waktu, agar SBY setidaknya memberlakukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pembuktian Terbalik Murni ini pada 17 Agustus 2012 karena kami tahu, tidak mudah melahirkan UU. Tapi jangankan berusaha memenuhi tenggat waktu tersebut, merespon pun sama sekali tidak dilakukannya,” ungkap Utama Kayo.

Selama ini, lanjutnya, pemberantasan korupsi di Indonesia seperti jalan di tempat. Survei Transparency International menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 1996 adalah 2,6. Sampai 2011, IPK Indonesia menjadi 3,0. Artinya, dalam tempo 15 tahun, pemberantasan korupsi di negeri ini hanya bergerak 0,4. Ini sekali lagi menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi.

Dijelaskanyya, UU Pembuktian Terbalik Murni yang digagas KUPAS/GNIB bersifat tidak berlaku surut. Artinya tidak dapat digunakan untuk menjerat kasus-kasus korupsi yang terjadi sebelum UU tersebut diberlakukan secara efektif. Kasus-kasus Korupsi yang terjadi sebelumnya, tetap di proses dengan pasal-pasal yang khusus.

Sedangkan harta hasil korupsi yang diperoleh sebelum pemberlakuan UU ini, hal itu akan diproses dengan UU yang sudah ada, misalnya, UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan atau UU No. 8/2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pada prinsipnya, pemberantasan korupsi dan suap harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan berkesinambungan, dengan memanfaatkan perangkat hukum yang sudah ada dan yang akan disusun kemudian, imbuh Utama Kayo.

Agar UU Pembuktian Terbalik Murni benar-benar efektif, ada beberapa hal pokok yang harus diatur secara tegas. "Antara lain soal hukuman bagi para koruptor harus dikenai sanksi hukuman yang berat, minimal 10  tahun. Selain itu, perlu juga ada pasal-pasal tentang penyitaan. Harta kekayaan milik koruptor yang tidak dapat dibuktikan diperoleh bukan melalui tindak pidana korupsi, harus disita untuk negara," harapnya. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Usut Kasus Novel, Komnas HAM Datangi KPK

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler