Rabu pekan ini (03/06) Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta memutuskan pemerintah Indonesia bersalah dalam kasus pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) meminta pemerintah menerima dan mengakui kesalahan sesuai hasil sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

BACA JUGA: Layanan Wisata di Yogyakarta, Bali dan Lombok Sudah Tak Sabar Menunggu New Normal

Putusan sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Nelvy Christin serta hakim anggota Baiq Yuliani SH dan Indah Mayasari itu mengabulkan gugatan para penggugat.

"Menyatakan tindakan-tindakan pemerintah yang dinyatakan oleh Tergugat I dan II... adalah perbuatan melanggar hukum," ujar Hakim Ketua Nelvy.

BACA JUGA: Australia Berikan Bantuan Rp 250 Juta untuk Warga yang Ingin Merenovasi Rumah

Pihak Tergugat I dalam gugatan ini adalah Presiden dan Tergugat II adalah Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), sementara Penggugat I ialah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) diwakili oleh Abdul Manan dan rekan-rekannya, serta Damar Julianto yang mewakilii Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet). Photo: Sidang putusan PUTN Jakarta soal gugatan pemadaman internet di Papua dan Papua Barat, Rabu (03/06). (Supplied: Twitter LBH Pers)

 

BACA JUGA: Berkat Pandemi Corona, Pria Sydney Ini Jadi Kenal Hampir Seratus Tetangganya

Salah satu dari tiga tindakan yang dianggap melanggar hukum dalam kasus ini adalah pemblokiran layanan dan/atau data pemutusan akses internet secara menyeluruh di 29 kota/kabupaten di Provinsi Papua dan 13 kota di Papua Barat dari 21 Agustus sampai setidak-tidaknya 4 September 2019 hingga pukul 23.00 WIT.

Ahli hukum dari University of Melbourne, Dr Ken Setiawan menilai, putusan PTUN ini selain secara jelas menyatakan bahwa pemadaman internet dan pemblokiran informasi melawan hukum, juga memperlihatkan independensi pengadilan.

"Ini menunjukkan bahwa pengadilan tidak melayani dan tidak ada di bawah tekanan pemerintah, sekaligus menunjukkan bahwa pengadilan juga adalah forum yang efektif untuk masyarakat sipil menyampaikan keluhannya untuk didengar," ujar Ken.

Ahli hukum dari University of Melbourne, Dr Ken Setiawan menilai, putusan PTUN ini selain secara jelas menyatakan bahwa pemadaman internet dan pemblokiran informasi melawan hukum, juga memperlihatkan independensi pengadilan.

Sidang gugatan kasus pemblokiran internet di Papua telah digelar sejak akhir Januari 2020. Pemerintah juga kalah soal kebakaran hutan dan BPJS

Ini bukan kali pertama kelompok masyarakat memenangkan gugatan terhadap pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Selain gugatan pemutusan jaringan internet di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat tahun 2019, ada gugatan 'citizen law suit' atas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan Tengah dan uji materi Perpes 75/2019 tentang BPJS Kesehatan.

Pada 16 Agustus 2016, sekelompok warga yang paling terdampak karhutla di Indonesia yang tergabung dalam Gerakan Anti Asap (GAAs) Kalimantan Tengah memasukkan 'class action' ke Pengadilan Negeri Palangkaraya. Photo: Warga sedang berusaha memadamkan kebakaran lahan gambut tahun 2019. (Supplied: ANTARA)

 

Tergugat adalah Presiden Republik Indonesia (RI), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Menteri Kesehatan, Gubernur Kalimantan Tengah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Tengah.

Dalam prosesnya, warga memenangkan gugatan hingga level kasasi di Mahkamah Agung pada 16 Juli 2019 dan Presiden Jokowi divonis melanggar hukum.

Namun, pemerintah Indonesia keberatan dengan kekalahan itu dan menempuh upaya peninjauan kembali (PK) yang diajukan pada 14 Mei 2020.

Sementara untuk kasus kenaikan iuran BPJS Kesehatan, gugatan diajukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI).

Kenaikan tarif BPJS Kesehatan sebesar 100 persen terjadi pada 1 Januari 2020, dimana iuran Kelas III naik jadi Rp42.000, Kelas II menjadi Rp110.000, dan kelas I menjadi Rp160.000.

KPCDI mengajukan pengujian materi Pasal 34 ayat 1 dan ayat 2 Perpres 75/2019 tentang Jaminan Kesehatan menyangkut penaikan iuran setiap peserta BPJS Kesehatan pada 5 Desember 2019, yang kemudian dikabulkan oleh MA pada 27 Februari lalu.

Sesuai putusan ini, seharusnya iuran BPJS Kesehatan kembali pada tarif awal, namun Presiden Jokowi malah menerbitkan Peraturan Presiden No.64 Tahun 2020 pada 5 Mei 2020 yang berisi penaikan tarif yang berlaku pada 1 Juli mendatang.

Isi Perpres yang diteken saat pandemi Corona itu menyebut tarif Kelas III tetap Rp25.500 dan menjadi Rp35.000 pada 2021, sementara Kelas II menjadi Rp100.000 dan Kelas I Rp150.000. 'Melihat gugatan masyarakat seperti gugatan musuh'

Muhammad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai Pemerintah seperti mengabaikan kesalahannya dan terus mengulangi kesalahannya.

"Soal BPJS, misalnya, Pemerintah seperti mengolok-olok konstitusi, mengolok-olok kekuasaan kehakiman dengan menerbitkan Perpres."

Dalam banyak kasus, menurut Isnur, Pemerintah seperti tidak bisa menerima putusan pengadilan.

Isnur menduga, berdasarkan kasus-kasus sebelumnya, Pemerintah akan melakukan upaya banding sampai level Peninjauan Kembali (PK).

"Pemerintah ini melihat gugatan masyarakat ini kayak gugatan musuh, begitu," kata Isnur.

"Bukannya merespon baik dengan melakukan perbaikan kebijakan, tapi dengan terus mengejar, memberangus penggugat dan pengadilannya." Photo: Dr Ken MP Setiawan dari University of Melbourne menggarisbawahi pentingnya Eksekutif tunduk pada Yudikatif dalam sebuah negara hukum. (Supplied: Dr Ken MP Setiawan)

 

Sementara itu, Ken sebagai pakar hukum berharap, Pemerintah baik di tingkat nasional maupun lokal mau mengikuti dan menghormati keputusan pengadilan.

"Kita pernah berpengalaman, punya sistem hukum tapi tidak ada artinya kecuali untuk mendukung kepentingan pemerintah sendiri. Ini jangan sampai terjadi lagi."

"Dan sebagai negara hukum, masalah besar jika Eksekutif tidak mau tunduk pada Yudikatif," tambah Ken.

Meski pengabaian ini bisa membuat rakyat menjadi apatis pada hukum, menurut Ken Setiawan, tidak ada jalan lain bagi rakyat selain terus menyampaikan gugatannya melalui jalur hukum.

Ken menilai, proses yang sudah dilakukan masyarakat adalah wujud demokrasi di luar elemen demokrasi formal seperti Pemilu.

"Saya optimistis melihat bagaimana masyarakat terus kembali kepada hukum dan ternyata pengadilan juga terus menerus terbuka mendengarkan dan mengeluarkan keputusan yang kritis terhadap pemerintah," pungkas Ken. Benarkah TNI Biayai Situs Propaganda Pemerintah?
Sejumlah situs yang seringkali memuat laporan mendukung tindakan militer di Papua diketahui memiliki kaitan dengan TNI.

  Permintaan maaf adalah konsekuensi etis

Atas keputusan terkait kasus pemblokiran internet di Papua, hakim menghukum para Tergugat untuk menghentikan dan tidak mengulangi seluruh perbuatan, seperti mengambil tindakan pelambatan dan/atau pemutusan akses internet di seluruh wilayah Indonesia.

Hakim juga menyebutkan putusan atas gugatan ini dapat dilaksanakan lebih dahulu walaupun ada upaya hukum, serta menghukum para Tergugat untuk membayar biaya perkara secara tanggung renteng sebanyak Rp457 ribu.

"Gugatan kami soal pemadaman internet ini adalah gugatan pertama di Indonesia yang menggunakan Perma No.2/2019, jadi Hakim PTUN juga masih meraba-raba," kata Isnur, dari YLBHI selaku salah satu penggugat. Photo: Muhammad Isnur dari YLBHI sebagai salah satu penggugat mengatakan, permohonan maaf adalah konsekuensi etis dari perbuatan melawan hukum. (Supplied: Muhammad Isnur)

 

Isnur menambahkan, sesuai dengan Perma, atau Peraturan Mahkamah Agung, dengan jalur PTUN, konstruksi gugatan pun tidak bisa sama dengan mekanisme perdata yang fleksibel yang biasanya diajukan ke Pengadilan Negeri.

"Hakim PTUN maunya menggunakan mekanisme PTUN yang dalam amar putusan hanya menyatakan dan memerintahkan untuk mencabut putusan."

"Untuk kasus ini, karena peristiwanya sudah lewat, hakim hanya bisa memutuskan perbuatan melawan hukum. Soal gugatan ganti rugi dan lain-lain baru bisa dilakukan nanti setelahnya," jelas Isnur kepada Hellena Souisa dari ABC News.

Karena itulah para penggungat kemudian menghapus petitum awal yang salah satu isinya meminta Presiden meminta maaf, kemudian memperbaiki gugatan sesuai masukan hakim supaya sejalan dengan konstruksi gugatan di PTUN.

"Tapi dalam etika pemerintahan yang baik, kalau kemudian diputus bersalah, dianggap melawan hukum, harusnya secara etika ia merasa salah dan meminta maaf," kata Isnur. Menkominfo: ada kerusakan infrastruktur Photo: Aksi unjuk rasa menuntut pembukaan kembali akses internet di Kota Sorong, Papua Barat, 3 September 2019.

 

Menanggapi keputusan PTUN tersebut, baik Presiden Joko Widodo maupun Menkominfo sudah memberikan tanggapan.

"Pemerintah menghormati putusan PTUN," kata Staf Khusus Presiden bidang Hukum Dini Purwono.

Ia juga mengatakan Pemerintah belum memutuskan langkah hukum selanjutnya dan masih akan membahasnya lebih lanjut dengan Jaksa Pengacara Negara.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Menkominfo Jhonny G Plate.

Namun, Menteri yang juga Sekjen DPP Partai Nasional Demokrat itu mengaku belum menemukan dokumen tentang keputusan pemerintah, maupun dokumen rapat Kemenkominfo soal pemblokiran atau pembatasan internet di Papua. Photo: Menkominfo Jhonny G Plate menanggapi putusan PTUN dengan menyebut soal infrastruktur yang rusak. (Supplied: ANTARA)

 

"Sejauh ini saya belum menemukan adanya dokumen tentang keputusan yang dilakukan oleh pemerintah terkait pemblokiran atau pembatasan akses internet di wilayah tersebut. Dan juga tidak menemukan informasi adanya rapat-rapat di Kominfo terkait hal tersebut," ujar Jhonny.

"Namun bisa saja terjadi adanya perusakan terhadap infrastrukur telekomunikasi yang berdampak ganguan internet di walayah tersebut."

Tanggapan Menkominfo soal infrastruktur yang rusak dipertanyakan oleh para penggugat, karena tidak muncul di persidangan.

"Ini kan lucu. Padahal semuanya dilakukan dengan sengaja kok oleh Kominfo, ada siaran persnya dan lain-lain," kata Isnur.

"Artinya beliau kurang membaca, belum dikasih tahu oleh anak buahnya, tidak melihat kembali kebijakan yang diambil sendiri oleh kementeriannya. Berbahaya sekali," tambahnya.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Lega Tetapi Khawatir, Cerita Perjalanan ke Melbourne dari Jakarta di Tengah Pandemi

Berita Terkait