Pembuktian Diri Mahasiswi Indonesia Kuliah di Belanda

Sabtu, 06 Desember 2014 – 12:34 WIB
Christina Kurniawan. Foto Angger Bondan/Jawa Pos/JPNN.com

jpnn.com - Tidak ada salahnya bermimpi setinggi-tingginya. Sayangnya, mimpi besar seseorang tidak jarang menjadi bahan caci maki. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat Christina Kurniawan. Dia tetap mewujudkan impiannya menjadi yang terbaik.

Laporan Nanda Putu Dermawanti, Surabaya

BACA JUGA: Mahasiswa UI Ciptakan Inovasi Slang Pengisi Lambung

”YAKIN nih mau nambah kuliah? Di Surabaya aja belum tentu oke, apalagi di Belanda.” Kalimat itulah yang terlontar dari orang tua Christina Kurniawan saat dia mengungkapkan keinginan untuk mengambil double degree. Kata-kata itu terus menghantui pikirannya ketika semester pertama.

Perempuan yang akrab disapa Tina itu bercita-cita untuk menuntut ilmu di Indonesia sekaligus di Negeri Kincir Angin. Pada 2010, dia diterima menjadi mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (Unika WM) pada jurusan teknologi pangan fakultas teknologi pertanian. Tapi, ya itu, dia juga ingin nyambi belajar di Belanda.

BACA JUGA: Buaya Keroncong Brisbane, Grup Musik Nostalgia ala WNI di Australia

Ungkapan keraguan juga muncul dari kolega Tina di kampus. ”Belum tentu kamu bagus di sana. Nanti malah malu-maluin negara,” ujar Tina menirukan kalimat beberapa teman yang pernah dilontarkan kepadanya.

Meski begitu, keputusan Tina memang sudah bulat. Dia tetap bertekad mengambil kuliah di negara lain. Pasalnya, sejak kecil, Tina terobsesi untuk menambah wawasan di luar negeri. Pada semester pertama, putri pertama pasangan Suhendy Kurniawan dan Novi Adiyanto itu berusaha membuktikannya dengan nilai-nilai yang sempurna. Rata-rata nilainya A.

BACA JUGA: Melihat Kiprah Ece Dail Falahudin, Penapal Kuda Internasional dari Cianjur

Namun, pembuktian tersebut belum cukup. Tina masih mendengar kalimat yang membuatnya tidak nyaman. Orang tuanya berkata, tahun pertama pelajarannya masih tergolong mudah sehingga tidak heran jika Tina bisa mendapatkan nilai yang apik.

Tina tidak terpengaruh oleh kalimat tersebut. Hal itu justru membuat Tina semakin termotivasi hingga nilainya rata-rata selalu baik. Orang tua Tina yang pengusaha rumah makan menyadari ambisi anak sulungnya tersebut. Mereka, yang lulusan SMA, mendukung cita-cita Tina. Untuk menguliahkan Tina di dua negara, keluarganya tidak pernah berlibur.

Ayah dan ibu Tina memang sangat mendorong anaknya menjadi sosok yang terdidik. ”Saya selalu ingat kata-kata orang tua saya. Yang bisa mengubah nasib keluarga adalah pendidikan,” tuturnya. Dia menambahkan, bisa melanjutkan kuliah di Unika WM saja menjadi anugerah baginya.

Maka, pada Agustus 2013, Tina berangkat ke Belanda. Dia mulai berkuliah di The Hague University Belanda. Dua bulan pertama, Tina masih beradaptasi dengan lingkungan. Beberapa kali dia harus menahan dinginnya hawa Kota The Hague (Den Haag). Di sana Tina mengambil jurusan process and food technology.

Sekitar enam bulan dia menjalani masa perkuliahan di kampus. Sisanya, Tina menghabiskan waktu untuk magang sekaligus melakukan penelitian di Nutricia Research Netherlands.

Ketika kuliah di negara itu, Tina merasa takut dan khawatir apakah dirinya bisa berkuliah dengan baik. Apalagi jika teringat kata-kata orang tuanya yang tidak ingin anaknya mencoreng nama Indonesia. Meski begitu, Tina terus berusaha yang terbaik. Setiap pelajaran usai, Tina selalu belajar lagi agar lebih memahaminya.

Perjuangan Tina pun membuahkan hasil. Setelah ujian, nilai-nilai mahasiswa ditempelkan di depan dan Tina mendapatkan nilai tertinggi. Namun, bukannya dapat pujian, dia malah mendapat respons yang sinis dari teman-teman yang lain. ”Mereka bilang, saya cari muka biar disayang dosen,” bebernya.

Dia menyadari persaingan di Indonesia dan luar negeri sangat berbeda. Menurut Tina, di Belanda temannya cenderung lugas mengungkapkan kebencian dan persaingan. Berbeda halnya dengan di Indonesia. Kompetisinya lebih bersahabat dan masih menjaga perasaan.

Ketika mendengar kalimat tersebut, Tina hanya diam. Dia tidak menggubrisnya. Perempuan kelahiran Surabaya, 13 Juni 1992, itu justru lebih giat belajar. Motivasinya sederhana. Dia tidak ingin memalukan nama Indonesia dan membuat orang tua kecewa. ”Setiap pelajaran, saya takut banget. Berangkat rasanya membawa banyak beban dari orang tua,” ungkapnya dengan nada parau.

Hasil kerja keras Tina tidak sia-sia. Semua nilainya di atas 8. Bahkan, di antara mahasiswa lainnya, hanya Tina yang mendapat predikat cum laude. Tina berhasil meraih grade point average (GPA) 8,5.

Aktivitas Tina tidak hanya belajar. Setelah kuliah, dia bekerja paro waktu di salah satu restoran Indonesia di Belanda. Dia pulang hingga pukul 12 malam. Tina mengaku sering harus menahan rasa dingin ketika pulang dengan naik sepeda. ”Di sana cuacanya dingin sekali. Kalau di Indonesia masih bisa naik motor atau mobil, di sana saya harus pakai sepeda,” kenangnya.

Ketika berada di negara asing, Tina juga sering merindukan makanan Indonesia. Terlebih makanan favoritnya, pecel. Di Belanda, harga pecel 15 euro atau sekitar Rp 200 ribu. Sebelum membelinya, Tina harus berpikir dua kali. Untungnya, dia bisa menikmati makanan itu di tempat part time-nya.

Kesibukan Tina lebih padat ketika mulai magang dan meneliti di Nutricia Belanda. Riset tersebut dimulai Februari hingga Juni. Namun, hingga April, Tina belum juga mendapatkan data yang sesuai dengan keinginannya.

Apalagi Tina merupakan satu-satunya mahasiswa yang magang dari jenjang S-1. ”Yang lainnya sudah S-2 dan S-3. Saya merasa bodoh dan sempat minder. Stres berat karena takut enggak bisa menyelesaikan skripsi di Belanda,” kenangnya.

Dia juga merasa teknologi di Belanda cukup canggih. Sementara itu, yang dia pelajari di Indonesia masih sangat kurang. Untuk mengejarnya, Tina harus ekstra berjuang. Biasanya, para peserta magang datang pukul 09.00. Namun, Tina datang lebih awal pada pukul 08.00. Begitu pula saat pulang. Dia baru pulang pukul 18.00, padahal yang lainnya sudah bisa kembali pukul 16.00. Tina sengaja pulang lebih lambat untuk belajar. Selain itu, dia sering bertanya kepada mahasiswa lain yang sudah ahli.

Pada suatu hari, Tina mendapatkan ide untuk membuat komponen yang melindungi susu agar tidak rusak. Pasalnya, susu bubuk untuk bayi biasanya menggunakan air panas. Hal itu dikhawatirkan membuat nutrisi di dalam susu rusak, khususnya protein. ”Kalau protein rusak, bayi sama saja kayak minum air. Padahal, yang diharapkan itu nutrisinya,” ujar alumnus SMAK St Louis 1 Surabaya tersebut.

Dia juga menjelaskan, analisis protein belum banyak dikembangkan. Selain itu, banyak peneliti dunia yang bingung dengan analisis protein. Maka, Tina ingin membuat komponen yang dapat melindungi protein dalam susu bubuk bayi agar tidak rusak meski terkena air panas.

Kebetulan Tina pernah belajar soal protein saat kuliah di Indonesia. Dia pun aktif dalam proyek-proyek soal protein.

Tina menawarkan cara untuk melindungi protein dalam susu bayi melalui karya tulisnya. Menurut dia, komponen yang ditambahkan murah dan berkualitas. Saat menerimanya, supervisor merasa puas sehingga langsung memutuskan untuk diproduksi masal. ”Saya enggak menyangka,” paparnya.

Tina pun ditawari untuk tetap bekerja di Nutricia. Namun, Tina menolak tawaran itu. Sebab, dia tidak ingin menjadi scientist. ”Saya lebih suka bekerja yang berhubungan dengan orang banyak, seperti marketing,” tuturnya.

Pada Juli 2014, Tina kembali ke Indonesia. Dia mendapat predikat mahasiswa terbaik di UKWMS dengan IPK 3,96. Selanjutnya, pada September 2014, Tina bekerja di salah satu perusahaan makanan di Indonesia sebagai marketing. Setelah tiga bulan, dia diangkat menjadi research and development national further process.

Sebelumnya, dia tidak menyangka perjalanan karirnya bisa melejit begitu cepat. Dalam perjalanan hidupnya, Tina mengambil sebuah pelajaran yang tidak terlupakan. Dia mengatakan, saat pertama masuk kuliah, dirinya berpikir orang pintar kalah oleh orang yang bekerja keras. Sekarang dia menambahkan teori tersebut. ”Orang yang bekerja keras kalah oleh orang yang mencintai apa yang dikerjakan,” tambahnya. (*/c6/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bukan Mantan PSK, Ogah Dinamai Dollicious


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler