Pemegang Saham Anggap Kasus Merpati sebagai Risiko Bisnis

Jumat, 05 Oktober 2012 – 02:02 WIB
Terdakwa perkara korupsi penyewaan pesawat Merpati Nusantara Airlines (MNA), Hotasi Nababan pada persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
JAKARTA - Dua saksi fakta dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung pada persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (4/10) malam dalam perkara korupsi pengadaan pesawat PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) dengan terdakwa Hotasi Nababan dan Tonny Sudjiarto.  Saksi yang dihadirkan adalah mantan Asisten Deputi Bidang Urusan Usaha sarana Angkutan dan Pariwisata Kementerian BUMN, Suyitno Affandi dan mantan wakil Garuda saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) MNA pada Oktober 2006, Albert Burhan.

Suyitno yang lebih banyak dicecar majelis hakim mengungkapkan, pengadaan dua unit pesawat di MNA pada tahun 2006  merupakan salah satu upaya untuk menyelamatkan perusahaan yang saat itu dipimpin Hotasi Nababan. Sebagai pejabat pemerintah yang mengawasi kinerja direksi MNA, Suyitno mengungkapkan bahwa kondisi keuangan di perusahaan yang diawasinya itu sudah sangat memrihatinkan.

Saking beratnya kondisi keuangan MNA,  katanya, gaji pegawai sering kali dibayarkan tak tepat waktu. Bahkan ada sebagian pegawai yang pembayaran gajinya dicicil dua kali.

"Tahun 2006 itu setiap hari defisit untuk operasional. Sebulan bisa merugi Rp 10 miliar-Rp 15 miliar. Kalau tidak mendapat kredit avtur dari Pertamina, Merpati sudah tutup," ucapnya.

Menurut Suyitno, pemegang saham menugaskan direksi MNA yang saat itu di bawah Hotasi Nababan untuk melakukan efisiensi internal. Opsinya, kata Suyitno, ada dua langkah yang bisa ditempuh direksi, yakni pengurangan jumlah karyawan dan menambah jumlah armada pesawat.

Suyitno mengakui bahwa pengadaan dua unit pesawat jenis 737-400 dan 737-500 pada tahun 2006 memang tak tercantum dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA) PT MNA tahun 2006. Hanya saja, sebutnya, pemegang saham memberi flexibilitas untuk merubah armada dan menganggap pengadaan pesawat itu sebagai langkah mengatasi krisis.

"Karena pilot di MNA cukup banyak. Kalau pilot sampai pada keluar, itu malah mempersulit kondisi perusahaan," ucapnya.

Apakah karena krisis itu pula maka pemegang saham memberi kewenangan kepada direksi dengan fleksibilitas? "Seperti itulah, Yang Mulia. Karena itu upaya penyelamatan yang bisa dilakukan," jawab Suyitno di hadapan majelis yang dipimpin Pangeran Napitupulu.

Dalam kesaksiannya Suyitno juga mengatakan, proses pengadaan pesawat MNA tak perlu mengacu pada Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang pengadan barang dan jasa di lingkungan lembaga pemerintah. "Direksi punya SOP (standard operating procedure) sendiri, karena pengadaan itu pakai dana operasional perusahaan," sebutnya.

Sementara saat ditanya tentang gagalnya penyerahan dua unit pesawat jenis Boeing 737-400 dan 737-500 yang disewa dari Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG), Suyitno mengatakan bahwa hal itu dianggap persoalan teknis. Menurutnya, yang dipersoalkan pemegang saham justru penyebab security deposite USD 1 juta tak bisa ditarik lagi.

Karenanya, kata Suyitno, gagalnya penyerahan dua pesawat itu dianggap oleh pemegang saham sebagai risiko bisnis.  "Dalam kondisi ini ada risiko bisnis. Pemegang saham melihatnya sebagai risiko bisnis. Apalagi dalam proses hukum MNA menang  jadi pemegang saham melihat ada upaya-upaya yang sudah dilakukan direksi untuk penyelamatan perusahaan. Itu fine, tidak masalah," tegasnya.

Sedangkan Albert Burhan mengungkapkan, penyerahan security deposit sebenarnya hal lazim. "Garuda sampai sekarang masih menaruh security deposit dalam bentuk cash," ucapnya.

Diakuinya pula, tidak ada standar baku tentang besarnya security deposit yang harus disetor saat pengadaan pesawat. Sebab, besarnya security deposit itu juga tergantung pada negosiasi bisnis dan tingkat kesulitan dalam mencari pesawat.

"Itu sebagai jaminan bagi lessor (penyedia pesawat) tentang ketersediaan pesawat. Makin sulit, makin besar (uang jaminannya)," tegasnya.

Hanya saja ditegaskannya, yang diperlukan adalah memastikan kredibilitas lessor. "Kami di badian pengadaan ada yang bertugas meneliti kredibilitas lessor," ucapnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Hotasi dan Tony didakwa korupsi USD 1 juta terkait penyewaan dua unit pesawat dari TALG pada 2006. Alasannya, karena Merpati telah mengeluarkan dana USD 1 juta namun pesawat yang akan disewa dari TALG masih dimiliki dan dikuasai oleh pihak lain, yaitu East Dover Ltd.

JPU menganggap keputusan Hotasi selaku Dirut MNA dan Tony selaku General Manager Pengadaan Pesawat membayarkan security deposite secara cash USD 1 juta telah memperkaya TALG dan mengakibatkan kerugian negara USD 1 juta. Dalam dakwaan primair, keduanya  dijerat dengan pasal 2 ayat (1)  juncto pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.(ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Vonis MA Dituding Bakal Suburkan Bisnis Narkoba

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler