Pemenang Sejati untuk Hati dan Perilaku Kita

Kamis, 07 Juli 2016 – 09:52 WIB
Menpora Imam Nahrawi. FOTO: dok/jpnn.com

jpnn.com - BAGI sebagian orang, Hari Raya Idul Fitri sering diidentikkan dengan baju baru, mobil baru bahkan rumah baru. Tak heran jika selama bulan Ramadhan, pusat-pusat perbelanjaan, butik-butik pakaian, hingga dealer-dealer kendaraan bermotor diserbu masyarakat. 

Fenomena ini terjadi bukan hanya di kota-kota besar semata, tapi juga terjadi di kota-kota kecil di pelosok nusantara Pasar-pasar tradisional ramai sesak orang tidak kalah dengan mall-mall dan pusat perbelanjaan modern lainnya.

BACA JUGA: 12 Pemudik Tewas karena Macet, Menteri Jonan: Kan Nggak Mungkin

Tidak ada yang salah dengan tradisi membeli baju baru atau kendaraan bermotor baru untuk Hari Raya Idul Fitri. Dari sisi ekonomi, tradisi ini telah mampu menggerakkan roda ekonomi masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah. 

Dalam salah satu kesempatan di bulan Ramadhan, saya pernah berbincang dengan seorang tukang parkir di sebuat pusat perbelanjaan di Jakarta. 

BACA JUGA: Tak Ingin Terjebak Arus Balik? Dengerin Saran Kakorlantas Nih

Dia tampak begitu bahagia, karena banyaknya pembeli yang datang ke pusat perbelanjaan itu telah memberikan berkah tersendiri bagi pendapatan dia sebagai tukang parkir.  

Parkir resmi Mall tersebut sesak penuh sehingga meluber sampai ke luar area parkir resmi. Di sinilah berkah Ramadhan bagi tukang parkir tidak resmi.

BACA JUGA: Pemudik Disarankan tak Gunakan Motor pada Arus Balik

Di tengah situasi gegap gempita orang berebut baju dan kendaraan bermotor baru itu, kita sepertinya lupa bahwa bulan Ramadhan diberikan kepada umat Nabi Muhammad SAW sebagai bulan yang istimewa, agar kita lebih bisa menahan hawa nafsu. 

Dengan berpuasa, kita diharapkan bisa merasakan bagaimana penderitaan orang-orang miskin yang menahan lapar dan dahaga karena keterbatasan ekonomim sehingga menggerakkan hati kita agar lebih peduli terhadap fakir miskin dan yatim piatu yang kemudian pada akhirnya akan menggerakkan tangan kita mengeluarkan zakat, infaq dan shodaqoh untuk meringankan beban mereka. 

Namun, fakta menunjukkan sebaliknya, sebagian dari kita justru menjadikan Ramadhan sebagai persiapan untuk berpesta pora saat Idul Fitri tiba. 

Orang berlomba-lomba, “mengadakan” sesuatu yang sebetulnya dia sendiri belum mampu “mengadakan”. 

Perilaku ini  lah yang lantas memicu terjadinya perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan tuntunan agama, seperti pemerasan, pencurian, perampokan, penipuan dan termasuk korupsi. 

Idul Fitri justru menjadi ajang adu gengsi untuk menunjukkan kesuksesan dan kemewahan kepada yang lain.

Padahal, Idul Fitri (ied; kembali, fitri; kesucian), sejatinya adalah puncak dari proses kita selama satu bulan penuh melatih diri kita menjadi pribadi yang sederhana, bersahaja, peka terhadap mereka yang lemah dan menjadi teladan kebaikan kepada sesama. 

Inilah yang disebut dengan Hari Raya kemenangan, kita menang bukan atas siapa-siapa melainkan kita menang terhadap diri kita sendiri karena sudah mampu menundukkan hasrat dan hawa nafsu kita yang selama ini kalau diberi kesempatan inginnya berlebih-lebihan, sombong dan tidak peduli terhadap kehidupan orang lain.

Tidak heran, jika dalam satu kesempatan Nabi Muhammad SAW pernah menyampaikan kepada para Sahabat usai Perang Badar dengan mengatakan “Rojakna min jihadil asghar ila jihadil akbar” (kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar). 

Para sahabat bertanya-tanya, jihad yang besar seperti apa yang melebihi Perang Badar? Nabi Muhammad SAW menjawab yaitu jihad melawan hawa nafsu. Di sinilah letak keutamaan Bulan Ramadan. 

Ia menjadi ladang pertempuran dan medan jihad bagi umat Islam untuk menaklukkan musuh terbesar dalam kehidupa yaitu hawa nafsu. 

Orang bijak mengatakan, “bumi ini cukup untuk menghidupi seluruh umat manusia dan makhluk hidup yang ada di dalamnya, tapi bumi seisinya dan juga seluruh jagat raya ini tidak akan pernah cukup untuk diberikan kepada satu manusia yang serakah”

Lihatlah, usai Sholat Ied, kita melihat anak-anak kecil yang dengan senyum cerianya memunguti koran bekas yang kita pakai untuk bersujud untuk dijual kembali demi menyambung hidup mereka. 

Itulah salah satu cara Allah mencukupi mereka seperti halnya bumi mencukupi mahkluk hidup di dalamnya. Ironi bagi kita yang di rumah memiliki bertumpuk-tumpuk koran bahkan kekayaan tapi tetap tak membuat kita merasa cukup dan bersyukur atas apa yang diberikan Allah kepada kita.

Baju baru, kendaraan baru, perabotan baru, rumah baru adalah sah-sah saja dalam perayaan Idul Fitri. 

Tapi yang lebih penting dari itu semua adalah apakah hati dan perilaku kita sudah betul-betul kita perbarui sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah SWT? Kembali ke fitri, kembali ke asal muasal kita yang tidak punya apa-apa kecuali kepasrahan terhadap Allah SWT. 

Selamat Hari Raya Idul Fitri, Selamat menjadi pemenang sejati untuk hati dan perilaku kita. Allahu Akbar…Allahu Akbar..Allahu Akbar…Walillahilham. (*)

 

Oleh:

Imam Nahrawi

Menteri Pemuda dan Olahraga RI

BACA ARTIKEL LAINNYA... Korlantas Klaim Angka Kecelakaan Menurun pada Arus Mudik 2016


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler