Pemerintah Batalkan Penerapan BMAD Pelat Baja, Pengusaha Galangan Kapal Happy

Jumat, 05 April 2019 – 23:53 WIB
Suasana salah satu galangan kapal di Batam, Kepulauan Riau. Foto: batampos/jpg

jpnn.com, BATAM - Pemerintah resmi membatalkan pengenaan bea masuk antidumping (BMAD) terhadap impor produk pelat baja atau hot rolled plate (HRP) dari Tiongkok, Ukraina, dan Singapura.

Kebijakan pemerintah ini sangat disambut baik para pengusaha galangan kapal di Kepulauan Riau.

BACA JUGA: Perempuan Pelaku Penipuan Puluhan Pencari Kerja di Batam Berhasil Diringkus

Pengusaha shipyard Kepri, Hengky Suryawan, mengapresiasi keputusan pemerintah tersebut. Menurut dia, keputusan tersebut diambil setelah pengusaha beberapa kali menyampaikan keberatan.

Yang terakhir, protes disampaikan para pengusaha kepada Wakil Presiden Jusuf Kal­la saat acara Rakerkonas Apin­do di Batam, Selasa (2/4) lalu.

BACA JUGA: BP Batam: Kebijakan Turunkan Harga Tiket Pesawat Harus Segera Diwujudkan

“Hanya selang dua hari setelah kami berdiskusi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kami mendapatkan pemberitahuan dari Bea Cukai, regulasi tersebut sudah dibatalkan,” ujar Hengky Suryawan, Kamis (4/4) di Tanjungpinang.

Selain desakan dari pengusaha, Hengky menyebut Gubernur Kepri Nurdin Basirun juga turut menyuarakan keluhan pengusaha ke pemerintah pusat. Sehingga pemerintah pusat segera mengambil keputusan dengan membatalkan penerapan bea masuk antidumping impor HRP tersebut.

BACA JUGA: Warga Asing Kini Dapat Kemudahaan Beli Properti di Indonesia

Hengky mengatakan, dengan dibatalkannya bea masuk itu, maka sejumlah galangan kapal di Batam akan segera mengirimkan kapal-kapal pesanan konsumen yang selama ini tertahan di Batam. Ia menyebut ada sekitar 100 kapal buatan Batam yang ditunda pengirimannya karena menghindari bea masuk yang cukup tinggi.

Untuk kapal ukuran 300 kaki (feet) misalnya, pengusaha harus mengeluarkan biaya hingga Rp 3 miliar untuk bea masuknya.

Sehingga mereka memilih menunda pengiriman kapal meski sudah selesai dikerjakan.

“Awalnya, memang terbitnya nota dinas untuk penerapan bea masuk tersebut pada awal tahun 2019 ini menjadi pukulan bagi pihak kami pengusaha kapal. Padahal regulasi tersebut sudah dilahirkan sejak 2016 lalu,” jelas Hengky.

Disebutkan Hengky, apabila pemerintah ngotot menerapkan kebijakan ini, maka konsekuensinya banyak perusahaan shipyard akan angkat kaki dari Batam.

Kemudian ada sekitar 200 ribu pekerja galangan kapal yang bakal kehilangan pekerjaan. Selain itu, secara umum juga akan memengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi Kepri.

“Ekonomi Kepri akan goyang, apabila kebijakan ini dipaksakan. Karena 60 persen lebih pergerakan ekonomi di Kepri, Batam khususnya, bergantung pada sektor galangan kapal,” tegas Hengky.

Saat Rakerkonas Apindo di Batam, Selasa (2/4) lalu, Hengky memang yang paling lantang menyuarakan keberatan pengusaha galangan kapal terhadap penerapan bea masuk antidumping impor HRP. Ia menyampaikan hal ini langsung ke Wapres Jusuf Kalla yang hadir dalam acara tersebut.

“Mengapa kita impor kapal dari luar negeri tak perlu bayar. Tapi impor kapal ke dalam negeri di Batam harus bayar bea masuk Rp 3 miliar untuk satu kapal. Kita akan kalah saing nanti,” kata Hengky, saat itu.

Seperti yang diketahui, saat ini ada sekitar 110 perusahaan galangan kapal di Batam. Perusahaan galangan kapal milik Hengky sendiri mampu memproduksi hingga 50 kapal dalam setahun. Karena bea masuk antidumping (BMAD) ini, banyak kapal yang tak bisa keluar dari Kepri.

“Ini merugikan 110 perusahaan tersebut. Kami sudah ke Menko Maritim dan gubernur. Peraturan BMAD tersebut berlaku sejak 2016, tapi baru dipungut saat injury time sekarang ini. Kalau satu kapal bayar Rp 3 miliar, bisa gulung tikar kami,” paparnya.

Penerapan BMAD ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50/2016 tentang Pengenaan BMAD terhadap Impor Produk Pelat Baja atau Hot Rolled Plate (HRP) dari Tiongkok, Singapura, dan Ukraina.

PMK ini sebenarnya baru diberlakukan setelah ada audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Kementerian Keuangan. Mereka menemukan ada praktik dumping atas impor plat baja sehingga menerapkan peraturan ini.

BMAD ini tidak hanya berlaku bagi pelat baja impor dari tiga negara tersebut, tapi juga berlaku bagi pelat baja impor dari negara lain yang masuk lewat Tiongkok, Singapura, dan Ukraina.

Menanggapi keluhan tersebut, Wapres Jusuf Kalla (JK) mengatakan akan segera berkoordinasi dengan Menteri Keuangan (Menkeu).

“Dasarnya Batam itu FTZ, jadi sebenarnya tak perlu bea masuk,” katanya.

Ia mengungkapkan, sebenarya alasan BMAD diterapkan karena Tiongkok sebagai negara produsen baja terbesar di dunia juga melakukan praktik dumping. Pasalnya, Tiongkok mulai menurunkan harga bajanya menjadi lebih murah sehingga bisa membuat harga baja lokal kalah saing. Makanya BMAD diterapkan dengan besaran pajak 27,5 persen untuk produk baja dari Tiongkok, Singapura dan Ukraina.

“Tapi saya kira, saya akan cek lagi. Saya yakin mestinya tak berlaku. Karena Batam ini daerah FTZ,” janjinya.

Seperti diketahui, sebelumnya pemerintah menerapkan BMAD sebesar 10,47 persen untuk impor pelat baja dari Tiongkok. Kemudian dari Singapura dikenakan bea masuk sebesar 12,50 persen. Sedangkan dari Ukraina dipu-ngut bea masuk 12,33 persen.

Di luar itu, setiap bahan baku yang masuk dari tiga negara tersebut juga dikenakan bea masuk tambahan sebesar 15 persen. Namun mulai Kamis (4/4) kemarin, pemerintah resmi membatalkan BMAD untuk impor plat baja dari Tiongkok, Singapura, dan Ukraina. (leo/jpg)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Puluhan Pencaker Jadi Korban Penipuan Lowongan Kerja


Redaktur & Reporter : Budi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler