Pemerintah dan DPR Harus Siap Menghadapi Ancaman Resesi Ekonomi Global

Kamis, 05 Desember 2019 – 21:20 WIB
Anggota Komisi VI DPR Darmadi Durianto (tengah) bersama para pembicara diskusi bertajuk “Mampukah Indonesia Menghadapi Ancaman Resesi Dunia 2020?” di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (5/12). Foto: Dok. JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Ancaman resesi ekonomi dunia sudah mendekati kenyataan. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah menyatakan Indonesia terkena dampak perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat.

Anggota Komisi VI DPR Darmadi Durianto mengatakan pertumbuhan ekonomi dunia yang diperkirakan 2,8 persen – 3 persen menunjukkan gejala kurang menggembirakan.

BACA JUGA: Ekonom: APBN Tak Dipersiapkan untuk Menghadapi Resesi Dunia

“Kami melihat efek dari perang dagang Tiongkok dan AS, berimbas ke negara lain. Tentu, pemerintah punya banyak solusi untuk mengatasi ini dan memang sedang dikerjakan oleh pemerintah saat ini,” kata Darmadi dalam diskusi “Mampukah Indonesia Menghadapi Ancaman Resesi Dunia 2020?” di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (5/12).

Menurut Darmadi, ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah, terlebih lagi di tengah situasi perekonomian sekarang ini.

BACA JUGA: Respons Bappenas Soal Ancaman Resesi Ekonomi Bagi Indonesia

“Pertama, tidak mengandalkan pada market Indonesia sendiri. Tentu ini bukan pekerjaan mudah,” kata politikus PDI Perjuangan itu.

Ia menilai akhir-akhir ini DPR banyak membahas tentang kerja sama ekonomi, seperti Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA). Berdasar kajian, ujar dia, kerja sama ini akan menambah banyak defisit buat Indonesia. Sebab, kemampuan ekspor Indonesia ke Australia kecil. Tidak lebih  besar dibanding kemampuan ekspor Australia ke Indonesia.

BACA JUGA: Instruksi Jokowi demi Menghindari Dampak Resesi Global

Ia mengatakan kalau tarif ekspor Indonesia ke Australia diturunkan, juga tidak berpengaruh untuk meningkatkan pengiriman barang dari dalam negeri ke sana. “Karena analisis regresinya ternyata menonjolkan  sesuatu yang  tidak berpengaruh,” paparnya.

Menurutnya, banyak hambatan nontarif. Artinya, kesiapan eksportir Indonesia untuk menembus Australia  kurang memadai. Karena itu, Darmadi mengatakan, kalau pemerintah harus betu-betul membatasi impor, maka jangan menerbitkan izin impornya produk industri yang bisa dikerjakan di dalam negeri.

“Kemudian ekspor, kinerja ekspor harus diperbaiki karena itu berhubungan langsung dengan pertumbuhan ekonomi, tetapi apa yang terjadi ujung tombak ekspor kita juga tumpul di luar negeri,” ujarnya.

Legislator daerah pemilihan (dapil) DKI Jakarta III (Jakarta Barat, Utara, dan Kepulauan Seribu) itu menyebut Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) tidak berkembang dengan baik.

“Kami banyak melakukan kunjungan, ternyata ITPC yang menjadi ujung tombak pemerintah kita di luar negeri ternyata tidak maksimal,” kritik Darmadi.

Ia mengapresiasi pemerintah yang tengah melakukan upaya omnibus law terhadap sejumlah aturan mengenai penciptaan lapangan kerja, dan investasi termasuk perpajakan. Bahkan, sudah ada yang masuk daftar program legislasi nasional (prolegnas) 2020. Menruut Darmadi, harus dikaji mendalam apakah hanya  dengan mempermudah dan mengatasi tumpang tindih regulasi bisa menggairahkan investasi masuk.

“Ini juga harus dikaji lebih dalam. Memang ada pengaruhnya tetapi ke depan apakah itu nanti signifikan dalam pertumbuhan investasi? Ini kan banyak faktor seorang investor tidak mau masuk ke sini,” ungkapnya.

Dia mencontohkan kalau demand-nya tidak ada, bagaimana orang mau investasi di Indonesia. Pun demikian kalau konsumsinya tidak ada, orang juga tidak akan mau investasi. “Malah kadang-kadang kalau demand-nya ada, orang juga masih berspekulasi untuk masuk ke sini,” katanya.

Darmadi mengatakan itu merupakan solusi-solusi yang mesti dipikirkan oleh pemerintah agar bisa mengantisipasi dampak krisis global. “Pertumbuhan ekonomi global itu minus 0,6 persen. Artinya apa,  yang perlu kita bahas antisipasi sekarang adalah bagaimana kita mengantisipasi ini. Kami berharap DPR juga mendorong pengawasan yang lebih dalam agar bisa mengantisipasi itu,” ungkap dia.

Anggota DPR Fraksi PKS Andi Akmal Pasluddin berharap resesi ekonomi global tidak terlalu berefek ke dalam negeri. Dia menegaskan kalaupun ada efeknya, tidak terlalu drastis. Apalagi, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan mencapai angka 5,2 persen.

“Kami berharap jangan sampai nanti pertumbuhan ekonomi di bawah lima persen karena akan menyebabkan pengangguran, kemiskinan, yang akan bertambah,” kata dia dalam kesempatan itu.

Andi menegaskan, pemerintah dan DPR harus tegas. Pertama, yang harus dilakukan adalah bagaimana mengawal APBN yang kredibel, efektif, dan efisien. “Fiskal bisa digunakan sebagai senjata dari pemerintah. Artinya belanja-belanja yang tidak terlalu mendesak, tidak terlalu mendukung ekonomi, bisa dialihkan kepada belanja lainnya. Bagaimana mengurangi kebocoran ini penting. Karena APBN kita Rp2.300 triliun betul-betul  kita harapkan bisa memperkuat ekonomi kita sehingga resesi akan bisa kita hadapi,” ungkap Andi.

Ketua Komite IV DPD RI dari dapil Jambi, Elviana memastikan resesi ekonomi global akan berdampak pada Indonesia. “Cuma, masih menunggu apakah skalanya besar atau kecil,” ujar Elviana dalam kesempatan tersebut.

Ia menjelaskan alasan resesi ekonomi global berimbas ke Tanah Air karena produk domestik bruto  Indonesia dipengaruhi faktor ekspor, tetapi tidak perlu khawatir karena berdasar informasi yang didapat dari Badan Pusat Statistik (BPS) pengaruhnya kepada Indonesia  itu hanya sekitar 17,8 persen.

“Namun demikian, kalau sekiranya faktor-faktor ekspor dari daerah atau potensi-potensi daerah seperti ekspor kelapa sawit, karet, batu bara, itu bisa pemerintah menyelesaikan problem-problem-nya ini maka saya pikir dari faktor (pengaruh ekspor ke PDB) yang hanya 17,9 persen tadi bisa meningkat. Itu sangat menolong,” katanya.  

Elviana menegaskan untuk bisa sedikit selamat dari resesi ekonomi dunia, pemerintah harus memikirkan dua faktor PDB yang lain yaitu konsumsi domestik dan investasi. “Faktor investasi inilah yang menurut pandangan kami di daerah yang perlu menjadi urusan dari pemerintah saat ini mulai dari aturan,” ungkap Elviana.

Nah, ujar Elviana, untungnya sekarang ini Presiden Jokowi akan melakukan omnibus law terhadap sejumlah aturan termasuk yang terkait invetasi.

Menurut dia, sudah seharusnya pemerintah dan DPR menyelesaikan persoalan aturan investasi, termasuk untuk daerah-daerah potensial ekspor. “Sehingga ekonomi kita tumbuh. Jadi DPD dalam posisi tidak terlalu pesimistis (terhadap ancaman resesi ekonomi global), selagi  pemerintah memperhatikan dan care terhadap daerah,” tambah Elviana.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menjelaskan Januari-Oktober 2019, pertumbuhan ekspor melambat bahkan minus 5,6 persen sampai 5,8 persen. Artinya, ujar dia, dari sisi ekspor Indonesia sudah melambat. Sisi investasi, kata dia, pertumbuhan relatif lebih lambat dari target.

“Kita hanya 5 persen –  6 persen, sementara target 10 persen,” katanya pada kesempatan itu.

Dia mengatakan dua sumbangan itulah yang memperburuk situasi ekonomi pada akhir 2019 ini. Menurut dia lagi, hal ini diperburuk konsumsi pemerintah pada triwulan kemarin yang harusnya bisa di atas lima persen sampai enam persen malah hampir mendekati nol. “Jadi, turun begitu,” tegasnya.

Menurut dia, memang ada masalah mendasar di 2019 yang akan berlanjut di 2020. Dia menjelaskan, pada 2020 masalahnya bukan hanya ekonomi lokal.

Namun, kata dia, perekonomian negara mitra dagang utama Indonesia seperti Amerika, Tiongkok, Korea, diprediksi banyak lembaga juga akan mengalami penurunan ekonomi. “Jadi, otomatis memengaruhi situasi tahun 2020 dengan kondisi demikian yang sama di domestik,” ujarnya.(boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
DPR   DPR RI   resesi ekonomi  

Terpopuler