Ekonom: APBN Tak Dipersiapkan untuk Menghadapi Resesi Dunia

Jumat, 11 Oktober 2019 – 23:38 WIB
APBN. Foto: dok.JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Resesi ekonomi dunia akan mengancam perekonomian Indonesia, khususnya di level usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Pasalnya, hingga kini belum ada kebijakan pemerintah yang bisa memproteksi masyarakat miskin. Justru yang terjadi adalah subsidi sektor energi Rp 12 triliun malah dicabut.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan banyak UMKM bergantung pada subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan liquefied petroleum gas (LPG) khusunya yang tiga kilogram. "Kalau dilihat dari kondisi ekonomi global yang akan resesi ekonomi, maka pemerintah akan mengorbankan UMKM kita," ujar Bhima dalam diskusi Forum Tebet (Forte) di Jakarta, Jumat (11/10).

BACA JUGA: Kontribusi APBN Kecil, Jokowi Andalkan Peran Swasta

Bhima menggambarkan bahwa pada krisis ekonomi 1998, UMKM masih menggunakan kayu bakar sebagai alternatif untuk tetap menjalankan usahanya secara sustainable. Kemudian, semua UMKM beralih memakai LPG, khususnya yang tiga kilogram. Setelah beralih ke LPG tiga kilogram, maka ketergantungan pada subsidi juga besar.

Nah, Bhima menilai jika subsidi ini juga dicabut maka kondisi ekonomi di bawah akan berbahaya. Terlebih lagi, lanjut Bhima, tarif dasar listrik bagi pengguna 900 VA dan iuran BPJS juga mengalami kenaikan. "APBN tak dipersiapkan untuk hadapi resesi ekonomi dunia," ujar Bhima.

BACA JUGA: Raker Bersama Komisi X DPR RI, Menpora Sampaikan Daya Serap APBN 2018 dan 2019

Dia juga menilai pernyataan bahwa daya beli masyarakat masih kuat juga tidak tepat. "Kuat bagaimana? Semua naik, iuran BPJS, tarif tol adjustment. Listrik 900 Kwh mau dipangkas juga," paparnya.

Lebih jauh Bhima menilai APBN yang disusun bukannya menjadi stimulus ekonomi, tapi justru untuk konstraksi pada 2020 mendatang

BACA JUGA: Parpol Harus Terbuka, Syarat Dana dari APBN Ditambah

Bhima juga tidak sepakat dengan pernyataan bahwa masyarakat tak usah khawatir resesi ekonomi dunia karena kalau di PHK bisa menjadi pedagang maupun ojek online dan sebagainya. "Padahal ingat, e-commerce itu modalnya sebagian besar disuntik dari modal asing. Dan modal asing itu sangat mempertimbangkan gejolak ekonomi global," ujarnya.

Bhima menjelaskan, kalau resesi ekonomi, maka pemodal itu bakal pergi dan menyelamatkan diri ke rumah masing-masing. "Mereka bisa pergi kalau resesi. Ibaratnya, kalau rumahnya kebakaran apakah tak menyelamatkan rumahnya dulu. Begitu juga soal ancaman resesi ini," tukas Bhima.

Direktur Data Indonesia Herry Gunawan menyoroti perekonomian tanah air yang masih rapuh dan daya beli masyarakat sangat lemah. "Kinerja penerimaan negara pada 2019 mengkhawatirkan, karena realisasinya lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya," ujar Herry dalam kesempatan itu.

Menurut Herry, Januari-Agustus, penerimaan negara dan hibah baru mencapai 55 persen. Turun dibanding pementara periode yang sama tahun lalu yang sudah mencapai 61 persen. "Dalam kondisi tersebut, defisit anggaran hingga akhir 2019 kemungkinan mencapai Rp 305 triliun," jelasnya.

Akibat kondisi ini, lanjut Herry, pemerintah berpeluang untuk semakin rajin mencari utang yang lebih besar untuk menutup defisit anggaran. "Utang selalu jadi solusi. Padahal saat ini, risikonya semakin tinggi," ungkapnya.

Herry mengibaratkan, ekonomi Indonesia saat ini seperti tubuh manusia yang kondisinya sedang meriang. Seluruh persendian terasa nyeri. "Namun obat generik yang diberikan masih sama, ilusi," tegas Herry. (boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler