jpnn.com, JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mendorong pemerintah memberikan insentif fiskal bagi produk tembakau alternatif. Direktur Program INDEF Esther Sri Astuti, menuturkan pemerintah bisa mengikuti sejumlah negara yang lebih dulu memberikan insentif kepada produk hasil pengembangan inovasi dan teknologi dari industri tembakau tersebut.
"Beberapa negara seperti Inggris, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru sudah membuktikan bahwa kebijakan harm reduction bisa diimplementasikan dengan baik di sana. Negara tersebut sudah memberikan insentif fiskal berupa tax reduction bagi industri yang memproduksi produk yang ramah lingkungan dan rendah risiko,” kata Esther di sela-sela kegiatan Asia Harm Reduction Forum (AHRF) ke-3 di Seoul.
BACA JUGA: PBNU Ikut Soroti Produk Tembakau Alternatif
Berdasarkan hasil kajian ilmiah dari Public Health England, produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan, tidak menghasilkan TAR dan memiliki zat kimia berbahaya yang lebih rendah hingga 95 persen daripada rokok.
“Beberapa studi sudah dilakukan dan membuktikan bahwa produk tembakau alternatif memiliki zat berbahaya dan risiko yang lebih rendah daripada rokok. Kajian tersebut juga menyebutkan bahwa produk tembakau alternatif berhasil mengurangi jumlah perokok di beberapa negara,” ucapnya.
BACA JUGA: Penelitian Lakpesdam PBNU Dukung Inovasi Produk Tembakau Alternatif
Esther menyadari saat ini masih banyak pro dan kontra mengenai produk tembakau alternatif. Namun, kondisi tersebut dapat dijadikan momentum bagi pemerintah untuk memperkuat berbagai penelitian lokal berbasis ilmiah tentang produk tersebut.
Dengan langkah pemerintah memberikan insentif fiskal, Esther melanjutkan, industri rokok akan terpacu untuk melakukan riset dan pengembangan produk tembaku yang rendah risiko.
BACA JUGA: Generasi Anti Narkoba Indonesia Dukung Pemanfaatan Produk Tembakau Alternatif
“Bagi perokok, cara yang terbaik untuk mengurangi kesehatan mereka adalah dengan berhenti merokok. Namun, bagi perokok yang tidak bisa berhenti merokok, maka mereka dapat didorong untuk menggunakan produk tembakau alternatif yang lebih rendah risiko,” tegas Esther.
Setelah pemberian insentif fiskal, pemerintah selanjutnya harus memperkuatnya dengan regulasi. Esther mengatakan regulasi diperlukan agar pengawasan dalam penjualan dan pengunaan tidak disalahgunakan.
Selain itu, masyarakat, terutama perokok dewasa, juga berhak untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang produk tembakau alternatif.
“Atur regulasi yang tepat, misalnya pelarangan untuk membeli produk tembakau alternatif pada anak di bawah umur. Tentukan standar-standarnya agar risiko penyalahgunaan berkurang,” kata dia.
Selain pada industri tembakau, konsep harm reduction bisa diterapkan di berbagai industri lain, misalnya pada industri energi terbarukan dengan insentif untuk produk biofuel, insentif untuk mobil listrik, maupun disinsentif cukai untuk plastik.
Dengan pengalaman negara-negara yang sudah melakukan pemberian insentif, menurut Esther, pemerintah harus segera merealisasikannya.
“Jika pemerintah Indonesia bermaksud mengembangkan model kebijakan insentif yang mendorong konsep harm reduction, seharusnya pemerintah bisa melihat studi empiris dari beberapa negara lain, seperti, Inggris, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru yang telah menerapkan kebijakan tersebut,” tandasnya.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy