jpnn.com, JAKARTA - Indonesia mesti lepas dari masalah korupsi yang membelenggu seluruh kapasitas nasional. Saat ini Indonesia terjerat utang hingga Rp 7000 triliun.
Salah satunya, skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan penerbitan obligasi rekap BLBI.
BACA JUGA: Pakar Perbankan Sarankan Sri Mulyani Belajar dari AS Soal Penyelamatan Aset BLBI
Selain itu, saat ini ekonomi dalam tekanan berat karena inflasi dan perlambatan di saat yang sama.
Staf Ahli Pansus BLBI Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) Hardjuno Wiwoho mengatakan saat ini skandal BLBI sedang dikejar oleh Satgas BLBI yang menyatakan angka piutang Rp 110 triliun.
BACA JUGA: DPD RI: Kinerja Satgas BLBI Belum Memuaskan
Sementara obligasi rekap membuat APBN musti membayar bunga rekap puluhan triliun setahun sampai 2043 nanti.
“Sekarang bayar bunga dan cicilan utang per tahun Rp 400 triliun. Beban APBN makin besar, pajak rakyat kecil akhirnya dikejar-kejar,” kata Hardjuno dalam keterangan resminya, Jumat (8/7/2022).
BACA JUGA: Abdul Hakim: Bank Penerima Obligasi Rekap BLBI Semestinya Bekerja untuk Rakyat
“PPN naik, lihat NIK KTP bayar Rp 1000, bandingkan dengan obligasi rekap yang membuat pemerintah menyubsidi bank-bank besar sampai Rp 70 triliun setahun dari 1999 sampai 2043 nanti, atau kalau ditotal Rp 4.000 triliun sendiri untuk bayar obligasi rekap,” kata Hardjuno lagi.
Menurut dia, dalam kondisi tekanan ekonomi saat ini pemerintah mesti benar-benar menekan pengeluaran dan memaksimalkan pendapatan. Terutama dari tindak kejahatan negara seperti BLBI. Selain moratorium pembayaran bunga rekap, Pemerintah juga musti memback-up kerja Satgas BLBI dalam upaya menarik piutang negara dalam skandal BLBI.
“Satgas harus dibantu bekerja agar sita aset atau ambil cash para pengemplang itu lebih mudah. Negara sedang butuh pemasukan, tekanan inflasi dan perlambatan ekonomi ini berat sekali,” kata Hardjuno.
Kejahatan keuangan di masa lalu menurut Hardjuno harus dituntaskan pada hari ini agar tak ada lagi yang ditinggalkan untuk masa Pemilu 2024.
Dia menegaskan, politik di Indonesia jangan lagi dibebani oleh masalah masa lalu seperti saling kunci dalam kesalahan penerbitan BLBI maupun rekap.
“Tekanan Covid belum usai, sekarang perang Rusia dan Ukraina. Krisis pangan, energi, rupiah melemah akibatnya harga impor pangan dan energi naik tinggi,” tegas Hardjuno.
Menurut dia, rakyat kecil terlalu lama menderita. “Sudahlah, pengemplang BLBI segera beresi saja. Kalau mau, pasti bisa dan cepat,” tegas Hardjuno.
Terpisah, peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng mengatakan beban negara sudah terlalu berat.
Oleh karena itu, tak ada pilihan bagi negara untuk segera menghentikan pengeluran-pengeluaran yang tidak penting bahkan keliru.
Dia meminta pemerintah mengoptimalkan penagihan piutang negara BLBI agar negara memperoleh tambahan penerimaan. Dengan demikian, dapat mengurangi defisit anggaran yang otomatis mengurangi penarikan pembiayaan dari utang.
Menurut Salamuddin, dengan waktu hanya sampai akhir tahun 2023, Satgas BLBI perlu lebih keras lagi melakukan penagihan piutang negara BLBI.
Dia mengatakan setidaknya pada tahun ini mampu mengembalikan lebih dari 50 persen kewajiban para debitur nakal kepada negara.
“Waktu kan terbatas, penagihan ini penting uangnya balik dan juga menunjukkan secara politik negara serius melawan pengemplang,” kata Salamuddin.
Melemahnya rupiah atas dolar pasti juga memiliki dampak serius pada utang Indonesia. Ini perlu diperhatikan pemerintah juga.
“Sikap tegas Satgas saat ini ditunggu oleh masyarakat, karena kinerjanya dinilai lamban. Piutang yang ditarik Satgas saat ini belum mencapai 25 persen dari total piutang yang ditargetkan sebesar Rp 110 triliun,” pungkas Salamuddin.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari