Pemerintah Diminta Segera Evaluasi Penerima Gas Murah

Kamis, 10 Agustus 2023 – 23:21 WIB
Ekonom menilai rencana pemerintah untuk memperluas insentif harga gas industri berpotensi merugikan negara. Foto: JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah diminta untuk mengevaluasi sektor industri dan perusahaan penerima harga gas murah, yang dinilai telah membebani keuangan negara.

Pasalnya, sejak diberlakukan pada 1 April 2020, program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dengan bandrol USD 6 per MMBTU telah membuat tekor negara hingga Rp 29 triliun.

BACA JUGA: Info Loker di Pegadaian, Buruan Daftar!

Sementara penerimaan negara dari para pelaku usaha penerima subsudi gas hulu tersebut diperkirakan hanya sekitar Rp 15 triliun.

“Evaluasi oleh pemerintah terkait kebijakan subsidi yang membebani keuangan negara ini jelas harus dilakukan. Tetapi harus ada riset dari Kementerian Perindustrian atau Kementerian PPN/Bappenas. Jadi harus dilihat apakah manfaat yang didapatkan dari program HGBT sejauh ini melebihi subisidi yang dikeluarkan pemerintah,” ujar Pengamat Ekonomi UGM Eddy Junarsin.

BACA JUGA: Pertamina Hulu Rokan Capai Produksi Tertinggi, IEW: Ini Bukti Kemampuan Bangsa Kita

Eddy menambahkan program HGBT ini otomatis menguntungkan industri yang masuk di dalamnya.

Menurutnya tidak mungkin negara terus menerus memberikan subsidi, sementara penerima subsidi untungnya terus membesar karena subsidi itu.

BACA JUGA: Menantea Luncurkan Membership dan Communitea Hub

“Untuk jangka pendek subsidi harus tetap ada, tetapi perlu berbagai perbaikan, termasuk kualitas produk yang dihasilkan harus semakin baik. Selain itu, komunikasi pemerintah harus lebih baik seperti misalnya alasan penetapan HGBT, industri yang dipilih, manfaat yang didapatkan,” lanjut Eddy.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, program harga gas USD 6 per MMBTU menyebabkan penerimaan bagian negara hilang Rp 29,39 triliun. Hilangnya penerimaan negara sebesar itu terjadi akibat penyesuaian harga gas bumi setelah memperhitungkan kewajiban pemerintah kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).

“Pemerintah menanggung penurunan penerimaan negara sebesar Rp 16,46 trilun pada 2021 dan Rp 12,93 triliun untuk 2022. Kebijakan HGBT mewajibkan pemerintah untuk menanggung biaya selisih harga dengan mengurangi jatah keuntungan penjualan gas negara sehingga tidak membebani jatah atau keuntungan kontaktor,” jelas Direktur Jenderal Migas, Tutuka Ariadji.

Menurut Eddy pemberian subsidi harga gas kepada sektor industri selama dua tahun ternyata juga tidak menjamin adanya peningkatan daya saing dan membesarnya kontribusi penerima subsidi terhadap perekonomian negara.

Padahal dua aspek tersebut termasuk bagian dari tujuan pemerintah ketika menetapkan program harga gas USD 6 per MMBTU.

“Meski sudah menerima subsidi, belum tentu produk dari industri tersebut semakin kompetitif. Kalau lebih murah mungkin iya. Namun perlu diingat, ada faktor lain agar produk tersebut kompetitif seperti kualitas, inovasi, quality control, hingga layanan customer service,” tandasnya.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian terdapat sebanyak 217 perusahaan dari 7 industri penerima HGBT dengan total alokasi sebesar 1.253,36 BBTUD pada 2022.

Dari total alokasi tersebut, realisasi volume gas yang terpakai hanya mencapai 83,02% atau 1.040,54 BBTUD.

Dari 7 sektor industri tersebut, dua sektor yaitu industri baja dan keramik merupakan penerima gas subsidi dengan penggunaan gas terendah. Industri baja memperoleh alokasi 76,34 BBTUD kepada 63 perusahaan.

Dari alokasi tersebut, gas yang terserap hanya 67,5% atau 51,29 BBTUD.

Sementara itu terdapat jatah 130,60 BBTUD gas murah kepada Industri keramik dan terpakai hanya 89,66 BBTUD atau 68,65%.(chi/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy Artada

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler