Pemerintah Dinilai Perlu Revisi Target Indikasi RPJMN untuk Prevalensi Merokok

Senin, 08 November 2021 – 11:51 WIB
Barang bukti yang berhasil disita petugas Bea Cukai dalam mengungkap modus baru peredaran rokok ilegal. Foto: Bea Cukai.

jpnn.com, JAKARTA - Peneliti FEB Unpad Wawan Hermawan menilai kenaikan harga cukai rokok di Indonesia selama ini sudah berhasil menurunkan prevalensi merokok.

Oleh karena itu, peningkatan rokok yang terlalu tinggi dikhawatirkan bisa menyebabkan perubahan konsumsi pada jenis rokok yang lebih murah (subtitusi/rokok ilegal).

BACA JUGA: Arya Saloka Cerita Awal Mula Kenal dengan Vanessa Angel

Sehingga bisa meningkatkan prevalensi merokok akibat mengkonsumsi rokok yang lebih murah.

"Prevalensi merokok umur 10 tahun ke atas dan 15 tahun ke atas turun dari tahun 2019 dan tahun 2020," ujar Wawan dalam webinar Reformulasi Kebijakan Cukai Rokok dan Masa Depan Industri Hasil Tembakau, Minggu (7/11).

BACA JUGA: Lagi, 2 Mitra Binaan Pupuk Kaltim Raih SPPT SNI

Menurut Wawan, peluang merokok untuk kelompok umur 10-18 tahun dan 10 tahun ke atas menurun dari 2019 dan 2020 dilihat dari 2017.

"Kami memandang pemerintah perlu revisi target indikasi RPJMN untuk target prevalensi merokok umur 10-18 tahun," katanya.

BACA JUGA: Dirjen IKP: Pendekatan Agama Percepat Diseminasi Informasi Penganggulangan Covid-19

Hal senada diungkapkan Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan mengkhawatirkan kondisi produksi rokok bercukai atau legal semakin tergerus.

Hal ini disebabkan karena kenaikan cukai yang terlalu eksesif dari tahun ke tahun. Selain itu peningkatan tren konsumsi rokok ilegal karena harga rokok bercukai semakin mahal.

Dia mencatat, produksi rokok turun 3,56 miliar batang setiap tahun sejak 2013 sampai dengan 2021.

"Ini berdampak pada industri, petani dan pendapatan negara. Kenaikan cukai itu pada akhirnya rokok ilegal mengambil alih," ujarnya.

Henry menyatakan 2020 produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) turun sebanyak 47,6 miliar batang (turun 17 persen) dengan penyerapan turun 47.600 ton tembakau 2020, pada pabrik SKM.

Kemudian, untuk produksi Industri Hasil Tembakau (IHT) 2021 perkiraan Gappri mencapai 297,53 miliar batang di mana turun 10 persen dari tahun ke tahun.

Menurutnya hal ini karena kenaikan cukai IHT yang eksesif pada 2020, di mana tarif naik 23 persen dan HJE naik 35 persen. Adapun daya beli masyarakat semakin menurun.

Oleh karena itu, GAPPRI meminta tarif industri hasil tembakau (IHT) pada 2022 tidak naik, mengingat kondisi IHT saat ini sangat terhimpit dan kritis.

Sehingga perlu relaksasi minimum 3 tahun bagi dunia usaha IHT untuk pemulihan.

"Diperlukan roadmap IHT yang berkeadilan dan komprehensif bagi para pemangku kepentingan sebagai peta jalan yang legal dan pasti," seru Henry.(chi/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler