jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah terus mendorong pembangunan fasilitas liquefied natural gas (LNG) skala kecil untuk mengoptimalkan pemanfaatan gas domestik.
Fasilitas tersebut merupakan salah satu kunci peningkatan konsumsi gas di dalam negeri.
BACA JUGA: Please, Jangan Ragukan Kemampuan Pertamina Garap Blok Besar
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi mengatakan, sejak 2012 Indonesia hanya memiliki empat fasilitas regasifikasi LNG dan tidak bertambah hingga sekarang.
Empat fasilitas tersebut adalah regasifikasi Arun–Belawan di Aceh, fasilitas unit regasifikasi terapung (FSRU) di Lampung, FSRU Nusantara Regas di Jawa Barat, dan FSRU Tanjung Benoa di Bali.
BACA JUGA: Dana Pensiun Rp 250 Triliun, Di Pasar Modal Hanya 11,91 %
”Itu pun 90 persen hasilnya dikonsumsi PLN,” kata Amien, Kamis (11/1). Keterbatasan infrastruktur LNG membuat pertumbuhan kebutuhan LNG domestik cukup lambat.
Pada 2013, konsumsi LNG domestik mencapai 1,5 juta ton per tahun (MTPA). Sementara itu, saat ini kebutuhan konsumsi LNG domestik tiga juta ton per tahun.
BACA JUGA: Uji Terbang Pesawat Lion Air Boeing 737-800 Berjalan Mulus
Hal tersebut berbeda dengan Tiongkok yang memiliki 150 mini-LNG plant dan dalam setahun bisa membangun 15 mini-LNG plant.
Apalagi, mini-LNG plant tersebut sangat cocok untuk geografis Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.
Dengan demikian, pihaknya membuka peluang bagi perusahaan yang ingin berbisnis fasilitas LNG skala kecil.
Badan usaha bisa membuka bisnis gas dengan memasok LNG untuk kebutuhan perumahan, hotel, atau pusat perbelanjaan dengan mobil iso tank yang menyediakan fasilitas regasifikasi.
SKK Migas juga akan memperbolehkan alokasi pesanan gas hanya 20 ribu meter kubik.
Direktur Utama Laras Energy Andy Jaya Hermawan mengatakan, kendala pemanfaatan LNG skala kecil itu masih mahal, baik di hulu maupun untuk penyaluran ke konsumen akhir.
Pihaknya harus membeli gas alam cair dari Tangguh di Papua seharga USD 8 per MMBTU.
Di sisi lain, harga jual ke konsumen pun bisa mencapai USD 20 hingga USD 21 per MMBTU lantaran jarak sumber gas jauh dari konsumen di Jawa maupun Bali.
”Memang harga yang di ujung saat ini masih terlalu mahal sehingga tidak banyak orang yang tertarik (investasi atau konsumsi, Red),” ujar Andy. (vir/c25/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pelaku Industri Gencar Ekspansi ke Luar Jawa
Redaktur : Tim Redaksi