Pemerintah Gandeng Irak Untuk Bangun Kilang Minyak

Kamis, 27 Juni 2013 – 08:13 WIB
JAKARTA--Upaya pemerintah untuk kembali membangkitkan industri hulu migas memang tak mudah. Rencana untuk membangun kilang pun diakui tak bisa dilakukan murni oleh perusahaan Indonesia. Penyebabnya, kadar resiko dalam eksplorasi yang sangat besar. Karena itu, pihak pemerintah terus menggandeng pihak luar negeri untuk membangun kilang minyak baru.

Salah satunya, proyek pembangunan kilang minyak baru yang sebagian menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) senilai Rp 90 triliun. Untuk menjalankan niat tersebut, pemerintah berniat menggandeng pihak Irak.

"Dengan kerjasama tersebut Indonesia mendapatkan jaminan crude oil (pasokan minyak mentah dari Irak) sebesar 300 ribu barel per hari (bph). Tapi, kemungkinan bisa menjadi 600 ribu bph," ujar Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Edy Hermantono di Jakarta, Rabu (26/6).


Sayangnya, Edy belum mau membeberkan rincian rencana tersebut ke publik. Menurutnya, pihaknya belum bisa menyebut waktu pembangunan dan realisasi"kilang minyak yang bakal didanai uang negara tersebut. "Awalnya kan ditargetkan 2018 dengan dana Rp 90 triliun. Tapi kan sebelumnya (pemerintah) sedang semangat mendorong pembangunan kilang oleh pihak swasta. Berhubung sampai saat ini mandek, didahulukan yang ini saja," tambahnya.

Ketika ditanya lokasi rencana pembangunan kilang, Edy kembali tak mau berkomentar. Menurutnya, lokasi-lokasi yang beredar di kalangan publik tersebut belum menjadi keputusan pemerintah. "Masih RHS (Rahasia, Red). Belum tentu di Plaju (Kecamatan Plaju Kota Palembang). Belum tentu juga di Bontang. Nanti feasibility study akan dilakukan Pertamina. Harapannya, tahun ini bisa selesai," tambahnya.

Namun, dia optimistis jika kerjasama yang diajukan tersebut bakal diterima Irak. Pasalnya, kondisi ekonomi Irak pasca perang panjang masih dalam stagnan. Karena itu, tak mungkin dia menolak kesempatan untuk melakukan kerja sama bilateral. "Maksut tujuan kami untuk memnjamin ketahana energi negara. Kebetulan saja, produksi irak sudah mencapai 10 juta bph. Makanya, suplai bisa terjamin," ungkapnya.

Dia juga menghimbau pemerintah daerah untuk urung ikut campur ke usaha hulu migas melalui Participating Interest (PI) atau hak partisipasi sebesar 10 persen dari saham. Pasalnya, bisnis resiko tinggi tersebut membutuhkan dana besar secara berkelanjutan. "Untuk melakukan eksplorasi setidaknya dibutuhkan Rp 10 miliar. Kalau ikut PI 10 persen berarti harus menyediakan Rp"100 juta. Itu pun kala langsung keluar. Kalau ternyata kering bagaimana? Ya akhirnya hilang uang itu," jelasnya.

Dia mencontohkan, Malaysia Genting Oil yang harus melakukan eksplorasi selama 6 tahun dang mengeluarkan modal USD 300 juta. Baru setelah itu dia mendapatkan potensi keuntungan hingga USD 14 miliar. "Di sisi lain, ada 12 perusahaan migas yang sekian tahun ngebor tapi gagal.," jelasnya.

Sebelumnya, Pertamina sendiri sudah mengaku tak bisa membangun kilang minyak dengan anggaran sendiri. Sebab, resiko yang ada dalam investasi tersebu terlalu besar. Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Resiko Pertamina Afdal Baharudin mengatakan, anggaran perseoran belum mencukupi untuk membangun kilang. "Sedangkan kalau meminjam juga tidak mungkin. Karena nanti kami meminjam uang untuk sesuatu yang bisa-bisa merugi," ungkapnya.

Karena itu, dia mendukung penuh jika pemerintah berniat membangun kilang dengan dana dari APBN. Jika hal tersebut digabungkan intergrasi dengan industri hilir dan pemberian insentif dari pemerintah, maka tak mungkin investor tertarik membangun kilang di Indonesia. "Margin industri kilang saat ini masih kecil. Untuk kapasitas 200 ribu " 300 ribu bph, hanya memili IRR (internal rate of return) 6 " 8 persen. kalau membangun kilang terintegrasi, IRR bisa mencapai 12 persen," ungkapnya. (bil)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ruas Tol Cipali Kelar Dua Tahun Lagi

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler