jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengungkapkan optimisme terkait masuknya investasi ke Indonesia.
Menurut Yose, Indonesia masih menjadi daya tarik para investor.
BACA JUGA: Bank Commonwealth Rekomendasikan Peluang Investasi di Tengah Ancaman Resesi
“Ke depan, pasti masih akan masuk investasi kita. Karena kita memiliki pasar cukup besar. Kemudian kita masih kaya dengan resources dan masih ada tenaga kerja,” tegas Yose, Jumat (16/12/2022).
Menurut Yose, investor akan mempertimbangkan beberapa hal untuk masuk Indonesia seperti kemudahan investasi, kemudahan operasional, dan kepastian hukum.
BACA JUGA: Harga Emas Pegadaian 15 Desember 2022, Masih Tinggi, Investasi Yuk
Terkait kemudahan operasional, Yose menyoroti aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
Menurutnya, pemerintah ingin meningkatkan TKDN dengan cara yang terkadang sangat instan yaitu dengan melarang impor part dan komponen yang sebenarnya masih dibutuhkan.
BACA JUGA: Indonesia Butuh Presiden yang Paham Ekonomi, Gerakan BerkAH: Airlangga Pantas
“Kadang dianggap di Indonesia sudah ada bahan bakunya sehingga tidak boleh diimpor lagi. Padahal spesifikasi part dan komponen itu agak berbeda dengan yang dibutuhkan oleh investor baru ini. Itu jadi pertimbangan. Masalah TKDN ini saya pikir akan menjadi permasalahan yang cukup berat," kata Yose.
Kepastian hukum juga menjadi catatan tersendiri. Menurut Yose, ketika investor telah memulai operasional usaha di Indonesia, persoalan hukum tidak bisa terhindari. Karena itu, mereka akan benar-benar mempertimbangkan aspek kepastian hukum.
“Ini di luar operasional. Kalau operasional sudah baik tentu harus ada kepastian hukum, karena ketika beroperasi pasti akan timbul dispute atau sengketa yang diselesaikan dalam ranah hukum. Kalau ranah hukumnya tidak pasti, investor akan mendapat kesulitan di sana," tegasnya.
Yose menilai Indonesia terkenal memiliki banyak regulasi usaha yang berubah dengan cepat. Padahal perubahan regulasi secara cepat akan menganggu proses usaha.
“Cepat sekali perubahannya yang tentunya mengurangi ketidakpastian hukum," tambahnya.
Oleh sebab itu, Yose menyarankan adanya suatu badan yang khusus bertugas untuk memeriksa dan mensinkronkan berbagai regulasi terkait usaha di Indonesia.
“Yang kita perlukan adalah clearing house. Ada satu badan, entah Kemenko Perekonomian atau apa, yang punya kapasitas untuk mereview regulasi-regulasi yang baru ini supaya kementerian punya prosedur, SOP, sebelum mengeluarkan regulasi, mempertimbangkan dampak baik buruknya," tuturnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan komitmen investasi yang diterima Indonesia dari Presidensi G20.
“Pada 2023, pemerintah menindaklanjuti komitmen investasi yang dibuat untuk Indonesia sebagai hasil dari KTT G20 di Bali, antara lain Just Energy Transition Partnership sebesar US$20 miliar untuk energi bersih di Indonesia,” kata Airlangga.
Selain itu Menko Airlangga yang juga Ketua Umum Partai Golkar ini menyebut bahwa terdapat Asia Zero Emission Community dengan komitmen penyediaan dana US$500 juta untuk Indonesia dan Partnership for Global Infrastructure and Investment berupa pendanaan US$600 miliar dari negara-negara G7 dalam bentuk pinjaman dan hibah.
Dana itu akan digunakan untuk pengembangan proyek infrastruktur berkelanjutan di negara berkembang.
Eliza menanggapi sejumlah komitmen investasi, pinjaman maupun hibah yang terkait transisi energi.
“Kita juga perlu roadmap untuk realisasi transisi energi yg berisikan target & berbagai stakeholder yg terlibat. Misi menurunkan emisi ini harus sampai ke level program pemerintah daerah sehingga dapat lebih aplikatif,” kata Eliza.
Bantalan Sosial
Peneliti CORE Indonesia, Eliza Mardian mengatakan, pemerintah perlu menjaga iklim investasi yang kondusif, sebab berdasarkan Coreoutlook 2023 lalu, Core memperkirakan investasi akan menjadi sumber pertumbuhan perekonomian kedua terbesar.
Untuk itu, baik pemerintah pusat dan daerah didorong untuk kebijakan yang komprehensif.
“Perlunya kebijakan yang suportif, komprehensif dan jelas baik kebijakan daerah maupun pusat. Jangan ada tumpang tindih,” ujar Eliza, Jumat (16/12).
Selain itu, tutur Eliza, perlu shock absorber jika dampak krisis ekonomi global mulai merembet ke Indonesia. Terutama, lanjutnya, mengantisipasi potensi badai PHK yang akan berdampak pada daya beli masyarakat dan mempengaruhi tingkat konsumsi.
“Dalam hal belanja pemerintah. Instrumen Fiskal merupakan shock absorber, ketika indonesia dihadapkan dengan badai PHK maka pemerintah perlu memberikan stimulus untuk sektor-sektor yang rentan PHK serta program jaring pengaman untuk yang terkena PHK,” ungkap Eliza.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari