Pemerintah Indonesia menyatakan permintaan maaf atas tindakan dua aparat TNI yang menggunakan "kekuatan berlebihan" terhadap seorang warga Papua yang tuna rungu.
Kejadian pada hari Senin di Kota Merauke tersebut terekam video dan menjadi viral di media sosial.
Dalam rekaman terlihat pria bernama Steven Yadohamang sedang bertengkar dengan pemilik warung bubur ayam yang dilerai oleh dua prajurit TNI AU.
Steven kemudian terlihat didorong paksa oleh salah satu prajurit dengan cara menekuk tangannya, kemudian menjatuhkannya ke trotoar.
BACA JUGA: Penularan COVID-19 di Indonesia Masih Tinggi, Banyak Warga Australia Berusaha Pulang Kampung
Petugas lain yang mengenakan sepatu lars terlihat menginjak kepala Steven.
Ketegangan telah berlangsung lama antara aparat keamanan Indonesia dan penduduk asli Papua.
BACA JUGA: Warga Sydney yang Terdampak Lockdown Dapat Rp 8 Juta per Minggu
Dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu (28/07), Kepala Kantor Staf Kepresidenan RI Moeldoko menyebutkan pihaknya mengecam tindakan aparat.
Ia menggambarkan tindakan tersebut sebagai "bentuk penggunaan kekuatan berlebihan dan tindakan yang melanggar hukum".
Pernyataan Moeldoko juga menyebutkan warga Papua tersebut tidak bersenjata, tidak melakukan perlawanan dan telah diidentifikasi sebagai penyandang disabilitas.
Juru bicara TNI Angkatan Udara, Indan Gilang Buldansyah mengatakan kedua prajurit tersebut akan diajukan ke pengadilan militer.
Tahun lalu, para aktivis hak asasi manusia di Papua mengaku telah menjadi sasaran serangan online.
Salah satunya yaitu Victor Mambor, jurnalis Papua yang mengaku tak bisa mengakses akun Twitter-nya setelah mengunggah video insiden Merauke.
Pihak Twitter mengatakan akun Victor telah diretas.
Rekaman kejadian itu, yang dibagikan secara luas di jejaring sosial, kembali memicu tuduhan perlakuan rasis oleh aparat terhadap orang Papua.
Pengacara HAM Veronica Koman yang tinggal di Australia membuat perbandingan antara apa yang dialami Steven dengan warga kulit hitam Amerika George Floyd tahun lalu.
George tewas di tangan aparat polisi, kemudian memicu protes di seluruh penjuru dunia.
"Ini jelas bukan kejadian pertama kali. Pada 2016, mahasiswa Papua Barat Obby Kogoya juga diinjak kepalanya oleh aparat keamanan Indonesia," kata Veronica.
"Tapi pengadilan malah memutuskan dia bersalah," ujarnya.
Reuters
Artikel ini diproduksi oleh Farid M. Ibrahim.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kasus Terus Bertambah, Gereja Katolik di Jakarta Berubah Menjadi Tempat Merawat Pasien COVID-19