jpnn.com, TOKYO - Dokter di Jepang yang bekerja di garda terdepan melawan COVID-19 kekurangan masker sehingga banyak dari mereka menggunakan kembali alat pelindung wajah.
Hasil survei turut menunjukkan hanya sedikit dari para dokter yang menerima tunjangan karena tetap bekerja di situasi berbahaya.
BACA JUGA: Yunan Helmi Sembuh dari Corona, Tetapi Harus ke Dokter, Kenapa?
Survei, digelar pada akhir April sampai 6 Mei, melibatkan 170 dokter sebagai responden. Setidaknya tiga perempat dari total responden mengatakan mereka diminta bekerja di garda terdepan melawan COVID-19. Akan tetapi, empat per lima dari mereka mengaku tidak menerima tunjangan khusus itu.
Saat banyak negara dunia berebut alat pelindung dan perlengkapan medis, beberapa dokter dan sejumlah ahli di Jepang mengatakan pemerintah gagal menyediakan alat pelindung diri yang cukup dan bantuan keuangan memadai untuk rumah sakit dan tenaga kesehatan.
BACA JUGA: Jenderal Andika Perkasa Terima Laporan Mencengangkan dari Dokter Nana
Survei oleh serikat pekerja Zenkoku Ishi Union, yang disiarkan dalam laman resminya, Jumat (16/5), menunjukkan hampir 70% dokter mengatakan pemerintah gagal menangani situasi darurat dengan baik.
Akan tetapi, belum ada pejabat di Kementerian Kesehatan Jepang yang dapat dimintai keterangan pada hari ini (17/5).
BACA JUGA: Tolak Pasien Covid-19 dari Daerah Lain, Bu Risma Dikritik Dokter Joni dan Pemprov Jatim lagi
Hasil survei memperlihatkan 31% dokter menggunakan kembali masker N95 yang berfungsi melindungi tenaga kesehatan dari penularan SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19. Umumnya, masker itu hanya dapat digunakan satu kali dan harus langsung dibuang setelah dipakai.
Akan tetapi, banyak dokter di Jepang terus menggunakan masker itu tanpa pernah diganti. Seorang dokter sempat menyebut ia menggunakan masker yang sama sampai tali pengikatnya putus.
Perdana Menteri Shinzo Abe memberlakukan keadaan darurat untuk 39 dari 47 prefektur di Jepang pada Kamis (14/5). Kebijakan itu mengurangi pembatasan pada 54% populasi di Jepang.
Sementara itu, Tokyo, yang berkontribusi terhadap sepertiga perekonomian Jepang, dan kota-kota besar lain, tetap memberlakukan aturan pembatasan.
Jepang sejauh ini mencatat sekitar 16.300 orang positif COVID-19. Jumlah itu tidak termasuk pasien dalam kapal pesiar yang sandar di Yokohama pada awal tahun ini. Dari jumlah itu, 748 orang meninggal dunia. (ant/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil