jpnn.com - JAKARTA - Anggota DPD Fahira Idris mengatakan kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mengabaikan psikologis rakyat yang saat ini sedang tertatih untuk pulih dan bangkit dari hantaman pandemi Covid-19.
Menurut Fahira, sebuah kebijakan atau keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak apalagi memiliki dampak yang besar dan beruntun di segala bidang kehidupan, tidak semata-mata hanya didasarkan soal hitungan-hitungan ekonomi saja, tetapi harus menjadikan psikologis rakyat sebagai salah satu parameter.
BACA JUGA: Harga BBM Naik, DPR Serukan Jaga Ketahanan Energi, Agar Tak Seperti Sri Lanka
Dia mengatakan selain sektor kesehatan terutama dalam pengendalian pandemi, situasi di berbagai bidang kehidupan masyarakat masih tertatih.
Rakyat saat ini masih dalam tahap mengumpulkan tenaga, energi, semangat dan berupaya memaksimalkan segala potensi yang dipunyainya untuk memulihkan diri setelah dihantam badai dahsyat pandemi Covid-19.
BACA JUGA: Demo Tolak Kenaikan BBM, Mahasiswa Sampaikan 5 Tuntutan, DPRD Sumsel Berjanji Meneruskan
Menurut dia, seharusnya pemerintah fokus memformulasikan berbagai kebijakan yang mempermudah rakyat untuk bangkit agar ekonomi nasional kembali tumbuh.
Kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi akan menjadi adangan besar bagi rakyat untuk lebih cepat pulih.
BACA JUGA: Harga BBM Naik, Cabai Tembus Rp 100 Ribu Per Kilogram di Pekanbaru
“Situasi saat ini sama sekali tidak tepat menaikkan harga BBM bersubsidi,” kata Fahira Idris, Senin (5/9).
Senator Dapil DKI Jakarta itu mengatakan bahwa pandemi Covid-19 memang sudah terkendali, tetapi dampaknya masih sangat terasa menyulitkan kehidupan rakyat mungkin hingga beberapa tahun mendatang.
Belum lagi, jika melihat situasi ekonomi nasional yang juga masih tertatih ditambah kondisi sosial, politik dan hukum yang saat ini masih menjadi sorotan tajam publik luas.
“Menaikkan harga BBM bukan hanya menambah beban hidup, tetapi meningkatkan tensi rakyat terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Seharusnya situasi-situasi seperti ini dihindari oleh pemerintah,” ungkap Fahira.
Terkait BBM bersubsidi, kata Fahira, prioritas pemerintah saat ini idealnya bukan menaikkan harga, tetapi segera merampungkan aturan teknis ketentuan kelompok masyarakat yang berhak untuk menggunakan Jenis BBM Tertentu (JBT) Solar dan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite.
Saat ini, lanjut Fahira, aturan teknis terutama Pertalite belum ada, sehingga penyalurannya tidak tepat sasaran atau masyarakat mampu leluasa menikmati BBM subsidin.
Jika aturan teknis ini disempurnakan, kata dia, maka penyaluran BBM bersubsidi akan lebih tepat sasaran sehingga tidak terlalu membebani APBN.
Selain itu, yang tidak kalah penting adalah efektivitas pengawasan penyaluran BBM subsidi, yaitu dengan memperkuat peran pemerintah daerah dan penegak hukum terutama dengan penggunaan IT yang paling mutakhir.
Jika ada pelanggaran dalam penyaluran, maka harus ada sanksi tegas yang menjerakan sehingga tidak berulang.
Dia menegaskan menaikkan BBM bersubsidi mungkin menjadi solusi bagi pemerintah.
Namun, katanya, bagi rakyat, hal itu menjadi sumber persoalan baru.
“Jika saja aturan teknis ketentuan kelompok masyarakat yang berhak untuk menggunakan jenis BBM terutama BBM bersubsidi sudah disiapkan pemerintah dan diimplementasikan dengan baik, maka tidak akan terlalu membebani APBN dan opsi menaikkan harga tidak perlu diambil,” pungkas Fahira Idris. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi