Pemerintah: Pajak Atas Alat Berat Sudah Tepat

Kamis, 15 Maret 2012 – 16:03 WIB
Gustafa Yandi
JAKARTA —  Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kalimantan Selatan (Kalsel), Drs H Gustafa Yandi  MSi menegaskan bahwa pungutan pajak terhadap alat-alat berat atau alat-alat besar sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah sudah tepat. Ini ditegaskan  Gustafa Yandi saat menjadi saksi fakta yang diajukan Pemerintah, Cq Kementerian Keuangan dalam sidang uji materi Pasal 1 Angka 13, Pasal 5 Ayat 2, Pasal 6 Ayat 4, dan Pasal 12 Ayat 2 UU Nomor 28 Tahun 2009. 

Menurut Yandi, berdasarkan fakta yang ada di Kalsel, pengenaan pajak ini terkait kekayaan sumber daya alam berupa potensi pertambangan batubara dan biji besi di atas satu juta hektare dari delapan kabupaten di sana.

Menurutnya, pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) maupun Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) alat berat/besar merujuk pada pasal 48 ayat (3) dan (4) Perda Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 5 Tahun 2011. Sedangkan, tarif yang dapat dipungut dari pajak berdasarkan PKB dan BBNKB sangat berbeda dengan tarif kendaraan bermotor biasa.

Sebagai perbandingan, kata dia, bila menggunakan Perda nomor 10 Tahun 2001, PKB alat berat 0,5 persen dan Kendaraan Bermotor (KB) biasa 1,5 persen. Sedangkan Perda Nomor 5 Tahun 2011, PKB alat berat 0,2 persen dan KB biasa 1,5 persen.

Sementara untuk BBNKB I, dengan Perda nomor 9 Tahun 2001, alat berat dikenakan tariff 3 persen dan Kendaraan Bermotor (KB) biasa 10 persen. Sedangkan Perda Nomor 5 Tahun 2011, tariff alat berat 0,75 persen dan KB biasa 10 persen.

Dia menilai, melihat perbandingan tersebut, sangat kecil sekali tarif yang dikenakan pada kendaraan bermotor alat berat/besar, bahkan juga tidak ada perkalian pembobotan kerusakan jalan yang cuma satu bobotnya dibandingkan kendaraan bermotor lainya 1,3, karena dianggap tidak digunakan di jalan umum dan sesuai di dalam UU sehingga tidak dikenakan pembobotan.

“Padahal kita berharap tari PKB dan BBNKB alat berat atau besar ini bisa dinaikan minimal sama dengan peraturan sebelumnya,” kata Yandi saat bersaksi di hadapan mejelis yang dipimpin Prof Mahfud MD di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (15/3).

Melihat potensi pada 2011, dari 100 juta metrik ton batubara yang dipungut kendaraan alat berat, realisasi mencapai Rp 42,784 miliar yang masuk ke kas daerah. Rinciannya adalah pajak kendaraan bermotor (PKB) sebesar Rp 12,517 miliar dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) sebanyak 30,267 miliar.

Menurut Yandi, angka itu didapat dari pungutan pajak sekitar 2.400 alat berat yang terdaftar di Dispenda Kalsel. Berdasarkan penghitungannya, seharusnya pengangkutan 100 juta metrik ton batubara itu diangkut 5.000 lebih angkutan berat. “Kami seharusnya bisa dapat pajak 100 miliar kalau perusahaan tertib membayar pajak, tapi belum semua kendaraan didaftarkan ke kami,” ujarnya.

Dikatakanya, berdasarkan litertur dalam teori perpajakan, pungsi pajak ada dua yaitu, sebagai regulerend dan budgeters kas Negara/daerah. Sejalan dengan hal itu kata dia, sesuai filosofi perpajakan dijelaskan bahwa setiap sesuatu aktifitas yang menimbulkan ekses terhadap orang lain, masyarakat, dan lingkungan dapat dikenakan pajak.

“Berdasarkan fungsi dan filosofi pajak itu, sudah sepantasnyalah pungutan pajak kendaraan bermotor atas kendaraan kendaraan bermotor alat berat/besar tetap diberlakukan,” tandasnya.

Ditambahkan, meski tidak menggunakan jalan umum yang menjadi patokan pengenaan pajak kendaraan bermotor umumnya, alat-alat berat ini sudah melakukan berbagai kegiatan penambangan yang luar biasa besar pengaruhnya terhadap kerusakan lingkungan dan hutan di Kalsel. Akibatnya, imbuh dia, jika musim hujan turun dan kelebihan debit air menyebabkan banjir yang sangat menyengsarakan rakyat di Kalsel.

"Jadi, akibat banjir ini pemerintah daerah mengeluarkan dana yang lebih besar untuk menanggulanginya. Masyarakat juga menjadi terancam," tambahnya.

Sementara itu, saksi ahli yang diajukan pemohon, Prof Bagir Manan menguraikan soal hukum dan turunan aturan pungutan pajak. Tanpa bermaksud mempengaruhi majelis, kata Bagir Manan, jika permohonan yang diajukan pemohon dibatalkan, maka konsekuensinya adalah turunannya berupa perda harus juga dibatalkan. Permasalahannya, kata ketua Dewan Pers itu, aturan pembatalan Perda bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi.

"Pemohon juga harus mengajukan kembali gugatannya ke Mahkamah Agung. Meskipun dalam prinsip hukum berlaku, jika sebuah pohon mengandung racun, maka buahnya juga pasti beracun," kata Bagir Manan memberikan contoh.

Seperti diketahui, sebanyak tujuh perusahaan kontraktor di bidang pertambangan dan konstruksi mengajukan uji materi UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ke MK. Ketujuh perusahaan pertambangan, yakni PT Bukit Makmur Mandiri Utama, PT Pamapersada Nusantara, PT Swa Kelola Sukses, PT Ricobana Abadi, PT Nipindo Primatama, PT Lobunta Kencana Raya, dan PT Uniteda Arkato. Pasal-pasal yang diujimaterilkan adalah Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2009 yang mengatur pengenaan pajak kendaraan bermotor di luar jalan umum yang termasuk alat-alat besar/besar. Seperti buldozer, dumptruck, grader, tractor, dan backhoe.(fuz/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Belum Terima Salinan Resmi, Mochtar Tolak Jalani Eksekusi

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler