jpnn.com, JAKARTA - Energy and Mining Editor Society (E2S) menggelar diskusi bertajuk Peran Strategis Batu Bara dalam Transisi Energi di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Jumat, (15/12).
Wakil Ketua Umum Indonesia Mining Association, Ezra Leonard Sibarani mengatakan bila merujuk pada data cadangan dari Kementerian ESDM, jika produksi batu bara diasumsikan 700 juta ton per tahun, cadangan batu bara baru akan habis 47-50 tahun ke depan.
BACA JUGA: MAKI Siap Kawal Dugaan Korupsi Tambang Batu Bara di Kalsel
Jika dipakai sendiri untuk kebutuhan dalam negeri yang diproyeksi 200 jutaan per tahun dengan kalkulasi tren peningkatan Electric Vehicle, umur cadangan batu bara bisa sampai 150 tahun.
“Jadi masih panjang dan kalau kita melihat 2060 NZE, berarti saat itu masih ada batu bara yang banyak. Nah ini mau diapakan,” kata Ezra.
BACA JUGA: Kolaborasi TikTok-Tokopedia, Pelaku Usaha Diharapkan Bisa Mengoptimalkan Peluang
Ezra mengungkapkan saat ini tantangan dalam transisi energi menuju pemanfaatan energi baru terbarukan adalah biaya yang dibutuhkan sangat besar, mencapai Rp3.500 triliun.
Kebutuhan dana yang besar untuk mencapai target dekarbonisasi atau Net Zero Emission (NZE) pada 2060 salah satunya untuk memensiunkan banyak pembangkit listrik bertenaga batu bara. Padahal pembangkit bisa tetap dioperasikan dengan menggunakan teknologi baru yang lebih ramah lingkungan.
BACA JUGA: Ratusan UMKM Ikuti Webinar Nasional Rumah BUMN Pertamina
“Dengan masih adanya batu bara dan biaya yang mahal untuk transisi energi, kenapa tidak tetap memanfaatkan batu bara,” kata dia.
Ezra mengatakan karena potensi batu bara yang besar, IMA merekomendasikan untuk mempertimbangkan apakah bisa menggunakan batu bara lebih dari 2060.
Selain karena batu bara mempunyai peran penting, biaya transisi energi dengan memanfaatkan Energi Baru Terbarukan sangat besar.
Menurut Ezra, pemerintah perlu mempertimbangkan program jangka pendek dan panjang untuk penggunaan batu bara di PLTU secara bersih sambil mempertimbangkan pembiayaan EBTKE secara bertahap.
“Jadi konsepnya clean coal. Kalau bisa pemerintah bisa pertimbangkan hal ini jadi yang dikurangi emisinya. Jadi jangan sampai memberatkan keuangan negara juga jangan terlalu cepat transisi sehingga apa yang kita punya bisa dipakai secara maksimal,” kata Ezra.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Ditjen Minerba Kementerian ESDM Lana Sari mengakui peranan batu bara makin penting karena pemanfaatan energi terbarukan di masa transisi energi saat ini baru sekitar 2% dari potensi yang ada.
“Batu bara saat ini masih dominan 42,4%, diikuti BBM 31,4% dan gas serta NRE. Jadi masih menjadi sumber energi utama, karena potensi batu bara masih sangat besar dibanding sumber energi lainnya,” ungkap Lana.
Pada 2023, target produksi batu bara nasional mencapai 694,5 juta ton. Produksi tersebut ditujukan untuk DMO 176,8 juta ton dan ekspor 517,7 juta ton.
“Untuk produksi sampai November mencapai 710,75 juta ton batu bara. Dengan asumsi produksi rata-rata per bulan 64,6 juta ton, hingga akhir tahun diproyeksi sebesar 775,17 juta ton atau 111% dari target 2023,” kata Lana.
Tak hanya sebagai penopang sumber energi nasional, kontribusi batu bara bagi penerimaan negara juga cukup besar.
Melalui royalti terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), kontribusi batu bara tercatat menjadi yang terbesar dibanding komoditas mineral dan batu bara lainnya, seperti emas dan tembaga.
“Hingga 11 Desember 2023, PNBP dari royalti batu bara mencapai Rp94,59 triliun melampaui target dalam PNBP 2023 sebesar Rp84,26 triliun,” kata Lana.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy Artada