jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah Indonesia memiliki modal sosial dan budaya yang memadai untuk berperan mendamaikan faksi-faksi yang bertikai di Afganistan pasca-kemenangan Taliban sebagai penguasa de facto di negara Asia Tengah itu.
Aksi Indonesia untuk mendamaikan faksi-faksi yang bertikai di Afganistan merupakan bagian dari peran menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan UUD Negara Republik Indoenesia Tahun 1945 (UUD 1945).
BACA JUGA: AS Tak Sudi Dana Bantuan untuk Afghanistan Masuk Kantong Taliban
Demikian pemikiran yang mengemuka dalam webinar yang diselenggarakan oleh Fokus Wacana UI (FW UI) bekerja sama BEM Pascasarjana Unusia (Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia) di Jakarta, Sabtu (4/9/2021).
Wabinar ini menghadirkan pembicara yakni Staf Ahli Deputi di BNPT Suaib Tahir dan Founder AJI Indonesia Dhia Prekasha Yoedha.
BACA JUGA: Dari Lembah Panjshir, Ahmad Massoud Bongkar Kebohongan Taliban
Tokoh nasionalis DR. Hadijoyo Nitimihardjo dan co-founder FW UI DR. Satrio Arismunandar tampik sebagai pembahas serta wartawan senior Kompas Rikard Bagun sebagai penanggap sekaligus pernah melakukan tuga pelipuatan di Afganistan.
Webinar dibuka dengan pengantar dari Bob Randilawe (co-founder FW UI), Eko Wahyudi (BEM Pascasarjana Unusia), dan sambutan Dekan Fakultas Islam Nusantara Unusia Jakarta, DR. Ahmad Suaedy.
BACA JUGA: Dokter Cantik Ini Sentil Puncak Kenikmatan Bagi Wanita di Ranjang
Dhia Prekasha Yoedha mengatakan Indonesia pada 1980-an pernah berperan mendamaikan faksi-faksi yang berperang di Kamboja. Pengalaman ini memberi landasan yang kuat untuk mengambil peran serupa di Afganistan.
Suaib Tahir menyatakan Taliban memandang Indonesia sebagai negara sahabat. Di sisi lain, Indonesia ingin melihat Afganistan yang damai. Maka, Indonesia perlu mendorong rekonsiliasi nasional di Afganistan.
Kesepakatan dengan Taliban
Hadijoyo Notomihardjo berpendapat untuk menuju rekonsiliasi nasional di Afganistan, saat ini sudah tampil tokoh-tokoh moderat di kepemimpinan Taliban. Namun, masih ada faksi-faksi radikal di luar Taliban yang tidak mudah untuk berubah sikap.
Sementara Satrio Arismunandar mengusulkan Indonesia perlu membuat kesepakatan dengan Taliban. Indonesia akan mendukung rekonsiliasi nasional, bahkan siap berpartisipasi dalam mendamaikan faksi-faksi yang bertikai di Afganistan seperti menangani kasus konflik Kamboja dulu.
Namun, kata Satrio, Taliban secara terbuka harus menyatakan akan menentang setiap kelompok radikal, yang mungkin ingin menggunakan wilayah Afganistan untuk latihan teroris atau melancarkan aksi teror di Indonesia.
Sementara itu, Rikard Bagun membahas secara historis bagaimana munculnya radikalisme keagamaan dan kesukuan di Afganistan.
Menurut Rikad, radikalisme itu dimulai dengan perlawanan terhadap pasukan Soviet yang menduduki Afganistan.
“Dalam rangka perlawanan terhadap Soviet yang komunis, sentimen agama dan kesukuan (komunalisme) sengaja dibangkitkan dan hal itu berdampak sampai sekarang,” ujar Rikard Bagun.(fri/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Friederich