jpnn.com, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah serius untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Menurut Airlangga, pemerintah sudah mengeluarkan sejumlah kebijakan. Salah satunya membentuk Badan Pangan Nasional.
BACA JUGA: Yandri Berharap Universitas Bengkulu Jadi Garda Terdepan Ketahanan Pangan IndonesiaÂ
“Ketahanan pangan bukan hanya menjadi prioritas, tetapi juga menjadi target kesejahteraan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah telah merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan penguatan ketahanan pangan nasional,” ungkap Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pada Rabu (14/9).
Beberapa waktu lalu, Indonesia menerima penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) karena sudah swasembada beras. Namun swasembada beras ‘ongkosnya’ mahal, yaitu nasib petani itu sendiri. Jika panen, harga jatuh.
BACA JUGA: Pemerintah Mengenjot Produktivitas Pangan dengan Rekayasa Genetika
Namun, kata dia, pemerintah telah melakukan sejumlah upaya untuk membantu petani, yaitu memberikan pupuk bersubsidi dan menugaskan Bulog untuk membeli gabah atau beras petani hingga stok CBP mencapai 1,2 juta ton setara beras.
“Indonesia punya pupuk surplus. Terkait beberapa daerah yang meminta untuk ketersediaan pupuk, kemarin Menteri Pertanian sudah bahas, tentu dibatasi urea dan npk yang disubsidi, dan komoditasnya ada sembilan,” kata Menko Airlangga.
BACA JUGA: Pengamat: Popularitas Airlangga Terdongrak Karena Sukses Tangani Covid-19
Bicara tentang kesejahteraan petani, Peneliti Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan INDEF Rusli Abdullah mengungkapkan masalah dalam dunia pertanian di Indonesia.
“Ada masalah struktural di pertanian kita, misalnya masalah kepemilikan lahan yang kecil yang tidak memenuhi skala ekonomi. Petani menua, orang muda tidak mau bertani, biaya tenaga kerja jadi mahal,“ kata Rusli.
Untuk itu, Rusli menyarankan, pemerintah melakukan konsolidasi lahan baik lewat BUMN maupun BUMN. Selama ini petani memiliki lahan kecil, terbatas, dengan hasil yang tidak maksimal.
“Harus ada yang mengelola lahan itu, dalam skala konsolidasi yang luas, bisa memberi nilai ekonomi,” jelas Rusli.
Jika pemerintah masih ragu dengan efisiensi konsolidasi lahan pertanian oleh BUMN, BUMN, mereka bisa meminta Badan Pangan Nasional (NFA) untuk melakukan pilot project.
“Satu hamparan yang sangat luas, dikelola oleh pemerintah dengan profesional, dengan teknologi dan memberdayakan petani, sehingga tidak perlu berebut air,” kata Rusli.
Dampak BBM
Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) Mujahid Widian mengungkapkan pemerintah harus mengantisipasi potensi kenaikan harga pangan bakal terjadi dalam waktu mendatang.
Hal ini berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi, sehingga tentunya berdampak pada sektor pertanian secara keseluruhan.
Menurut dia, kenaikan BBM jelas berpengaruh terhadap sektor pertanian. Kita bisa lihat mulai dari komponen biaya produksi dan distribusi yang dikeluarkan oleh petani, di antarnya adalah biaya pembelian benih, pupuk, obat-obatan, bahan bakan untuk pompa air dan juga biaya transportasi pengangkutan hasil panen ke pasar.
“Sebelum BBM naik saja, beberapa harga input produksi tersebut sudah dahulu naik, rasanya mustahil untuk tidak terdampak pasca naiknya BBM,” ungkapnya.
Menurut dia, selain biaya produksi petani masih harus menanggung konsumsi rumah tangga. Meski terjadi kenaikan nilai tukar petani (NTP) dan deflasi pada Agustus, tetap saja petani masih merasa keberatan.
“Belum lagi dengan biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk konsumsi rumah tangga. Meskipun terjadi deflasi pada Agustus 2022, hal ini akan memicu kenaikan harga kebutuhan pokok dan tentunya menambah beban keluarga petani ke depannya,” tambahnya.
Oleh sebab itu, pemerintah harus mengambil langkah-langkah perbaikan secara komprehensif untuk mengantisipasi dampak dari kenaikan harga BBM tersebut.
Menurut Mujahid, strategi pemberian bantuan langsung kepada masyarakat yang terdampak tidak cukup kuat untuk menghadapi gejolak yang ditimbulkan akibat kenaikan harga BBM, dan harga-harga lainnya.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari