jpnn.com - JAKARTA - Ikatan Apoteker Indonesia atau IAI merespons langkah pemerintah menyetop sementara penggunaan obat sediaan sirop untuk terapi anak. Wakil Ketua Pengurus Pusat IAI Prof Keri Lestari menghargai keputusan pemerintah tersebut sebagai bentuk kewaspadaan bagi tenaga kesehatan dan masyarakat.
"Kami menghargai kebijakan pemerintah sebagai bentuk kewaspadaan bagi tenaga kesehatan dan masyarakat dengan menghentikan sementara penggunaan obat sediaan sirop untuk terapi pada anak," kata Keri Lestari yang dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (20/10).
BACA JUGA: Penggunaan Obat Sirop Disetop, Komisi IX DPR Minta IDAI, Kemenkes, dan BPOM Lakukan Ini
Keri menyampaikan terdapat sejumlah keputusan hasil Rapat Pengurus Pusat IAI bersama Dewan Pakar IAI pada 19 Oktober 2022.
Hasil rapat, di antaranya, IAI menghargai upaya penyelidikan epidemiologi dan pelaporan kasus gangguan ginjal akut atipikal pada anak sebagai bentuk kewaspadaan bagi nakes dan masyarakat dengan menghentikan sementara penggunaan obat sediaan sirop untuk terapi pada anak.
BACA JUGA: Orang Tua Harus Waspada Gegala Gangguan Ginjal Akut Misterius pada Anak
“Akan tetapi dalam kondisi tertentu, berdasarkan pertimbangan antara risiko dan kemanfaatannya dan diputuskan oleh dokter untuk tetap menggunakan obat dalam bentuk sediaan sirop, maka apoteker perlu melakukan pengawasan bersama dokter terkait keamanan penggunaan obat," ungkap Keri yang juga anggota Dewan Pakar IAI itu.
Keputusan berikutnya, lanjut Keri, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 105 menyatakan bahwa sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya.
BACA JUGA: Penyakit Kronis Ini Bisa Timbul Jika Anda Sering Mandi Malam, Salah Satunya Gangguan Ginjal
Menurutnya, senyawa etilen glikol dan dietilen glikol tidak digunakan dalam formulasi obat, namun dimungkinkan keberadaannya dalam bentuk kontaminan pada bahan tambahan sediaan sirup dengan nilai toleransi 0,1 persen pada gliserin dan propilen glikol, serta 0,25 persen pada polietilen glikol.
“Batas nilai toleransi tersebut tidak menimbulkan efek yang merugikan," katanya.
Keri mengatakan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 106 menyatakan bahwa sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar dari otoritas terkait.
Menurut Keri, obat yang mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sudah melalui proses pengujian dan memenuhi standar keamanan, kualitas dan kemanfaatannya, serta diproduksi sesuai dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).
Keri mengimbau apoteker yang bekerja di industri farmasi untuk terus berupaya meningkatkan kepatuhan pada standar CPOB, terutama dalam menjaga kualitas obat-obatan yang diproduksi.
"IAI mengimbau kepada apoteker yang bekerja di sarana pelayanan kefarmasian dan di sarana pelayanan kesehatan untuk berkolaborasi bersama dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk memberikan informasi dan edukasi kepada pasien dan masyarakat," katanya.
Edukasi yang dimaksud tentang penggunaan obat yang rasional dan aman, sesuai rekomendasi penggunaan obat dalam bentuk sediaan lain, serta rekomendasi terapi non-farmakologi.
Apoteker juga perlu mengawasi penggunaan obat oleh pasien atau masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya interaksi obat ataupun interaksi antara obat dengan makanan yang berisiko menimbulkan kejadian fatal seperti kegagalan organ termasuk kondisi gagal ginjal akut.
"IAI mengimbau apoteker untuk tetap memantau perkembangan informasi terkini, dan memberikan informasi kepada masyarakat dengan
benar sesuai referensi terkini untuk menenangkan masyarakat," kata Prof Keri Lestari. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi