jpnn.com - JAKARTA - Penerapan kebijakan baru fixed subsidy atau subsidi tetap membawa sejumlah konsekuensi. Di antaranya, Pemerintah kini tak lagi membatasi impor bahan bakar minyak (BBM) dikarenakan ruang fiskal dinilai telah terjaga.
Meski demikian, upaya tersebut tetap membawa risiko tingginya impor BBM yang dipicu kembali meningkatnya konsumsi energi di masyarakat. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan, untuk memitigasi risiko-risiko tersebut, Pemerintah akan terus menghitung harga baru BBM setiap periode bulanan yang nantinya diumumkan langsung oleh badan pengatur hilir (BPH) Migas.
Di samping itu, sebagai bagian dari pengendalian impor, pihaknya juga mengimbau masyarakat tetap menghemat penggunaan BBM. Artinya, jangan lantaran harga BBM turun, masyarakat langsung menggunakan berlebihan. Mantan Menteri BUMN itu menginginkan masyarakat tetap rasional dengan menghemat BBM. Karena bagaimanapun BBM adalah barang dan sumber energi langka.
BACA JUGA: Deadline Merpati sampai Akhir Januari
"Namun kami tidak lagi memerlukan pembatasan atau kuota BBM untuk mengendalikan. Karena Pemerintah sekarang tidak lagi memberikan subsidi kecuali solar dan minyak tanah," ujarnya.
Risiko tingginya konsumsi BBM ini menjadi kekhawatiran Bank Indonesia (BI). Sebab, hal ini bisa mengancam pembengkakan current account deficit (CAD) atau defisit transaksi berjalan. Apabila defisit semakin lebar, maka beberapa risiko seperti pelemahan nilai tukar rupiah tidak bisa dihindari.
BACA JUGA: BBM Turun, Rizal Ramli Ucapkan Selamat Kepada Jokowi
"Penghapusan subsidi itu bagus untuk APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara). Sedangkan untuk mengurangi impor BBM, harus dibarengi dengan upaya diversifikasi ke sumber energy lain. Seperti gas, geothermal, tenaga air, maupun batubara," terang Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual mengatakan, kebijakan penerapan subsidi tetap tersebut tertolong oleh harga minyak mentah dunia yang tengah landai. Dari yang sebelumnya di kisaran USD 105 per barel, menjadi di bawah USD 60 per barel.
Sehingga, harga eceran BBM pun juga ikut turun. Bahkan, menurut David, kondisi minyak dunia yang drop cukup mengkompensasi pelemahan rupiah yang mencapai 4 persenan sejak awal tahun ini.
"Pada dasarnya konsumsi BBM setiap tahun naik 8-10 persen. Tapi karena secara keseluruhan harga turun, sehingga tidak berpengaruh signifikan. Jadi secara nilai impor bisa turun drastis. Sementara untuk volume impor bisa naik tapi tidak signifikan," jelasnya.
BACA JUGA: Pembangunan Perumahan Bentuk Klaster Bakal Disetop
Justru menurut Sumual, tantangan apabila minyak dunia sedang jatuh adalah pendapatan pemerintah yang ikut jeblok. Sebab, Indonesia termasuk negara yang juga menyandarkan penerimaan dari ekspor minyak. "Selain itu juga tantangan apakah Pemerintah bisa segera menyerap anggaran penghematan subsidi dengan cepat. Karena biasanya awal tahun Pemerintah tergolong lamban (menyerap)," ucapnya. (gal)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Anggaran Revitalisasi Pasar Rp 997 M
Redaktur : Tim Redaksi