jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mempertanyakan kebijakan pemerintah menerbitkan Global Bond atau Surat Utang secara elektronik senilai 4,3 miliar dolar Amerika Serikat.
Langkah yang ditempuh di tengah badai Covid-19 itu dinilainya tak berbanding lurus dengan upaya memutus rantai penyebaran wabah ini.
Hergun -sapaan Heri Gunawan- bahkan memandang tindakan pemerintah dalam menangani Covid-19 yang menjadi dasar diterbitkannya surat utang yang menjadi rekor dalam sejarah Indonesia itu belum kelihatan arahnya.
“Bagaimana dengan kinerja dari Kementerian Kesehatan dan Gugus Tugas, kapan Covid-19 selesai? Apa langkah jangka pendek, menengah dan panjangnya," kata Hergun menanggapi penerbitan global bond tersebut, Rabu (8/4).
Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan penerbitan global bond dalam bentuk 3 surat berharga global, yakni Surat Berharga Negara (SBN) seri RI1030, RI1050, dan RI0470, merupakan strategi pembiayaan APBN 2020 yang akan dipergunakan untuk menopang pembiayaan situasi Virus Korona (Covid-19).
Namun demikian, Hergun berharap kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam menghadapi musibah ini jangan justru semakin mempersulit stabilitas keuangan negara. Meskipun, para pengambil kebijakan diberi otoritas yang besar melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020.
Perppu tersebut mengatur tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
"Dengan Perppu memberi kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pinjaman 60% dari PDB, sehingga utang akan semakin membesar. Sementara waktu penyelesaiannya sangat tidak jelas. Berapa untuk penanganan, berapa subsidi, berapa untuk pemulihan?" ujar Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPR itu.
Untuk itu dia mendorong Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LSP) untuk melakukan kajian pre test terlebih dahulu terhadap kondisi yang dihadapi. Baik dengan skema jangka pendek, menengah, dan panjang beserta kebijakan yang mestinya diambil.
Menteri keuangan bersama BI, OJK dan LPS selaku Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), juga harus melakukan stress case. Misalnya, bagaimana kondisinya nanti di bulan Juni dan Juli. Hal itu disertai dengan ketentuan dan aturan pelaksanaannya.
"Perlu ada aturan dan tindakan yang tegas, jelas dan terukur. Kalau tidak, akan makin mendalam. Terkesan asyik memanfaatkan kondisi Covid-19 untuk menambal sulam kondisi lemahnya ketahanan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan. Karena semua bersembunyi di balik Corona," tegas Hergun.
Di sisi lain, Kemenkes maupun Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 tidak bisa memprediksi kapan berakhirnya wabah ini, dan langkah kerja konkretnya pun tidak terlihat. Hal itu memperlihatkan kepada publik bahwa masing-masing berjalan sendiri-sendiri.
"Ini kan terkesan jalan sendiri-sendiri. Kebutuhan APD kudunya bisa ditutupi segera. Bukankah kita punya BUMN Kesehatan," tukasnya mempertanyakan.
Maka dari itu, pihaknya meminta jajaran pemerintah agar bertindak dengan hati-hati dalam melaksanakan Perppu 1/2020 serta perlunya sinergi yang nyata dan konkret antarkementerian dan lembaga dalam perang melawan Covid-19.
"Jangan sampai ada kesan yang muncul di tengah masyarakat, Perppu Corona ini dijadikan aji mumpung. Lama-lama tugas dan tanggung jawab DPR juga bisa enggak ada lagi semua diambil Perppu. Sementara utang makin banyak. Berutang persoalan gampang, tetapi bayarnya nanti bagaimana?" tandas ketua DPP Gerindra ini.(fat/jpnn)
BACA JUGA: Ada Rekor Baru dari Bu Menkeu soal Penerbitan Surat Utang
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam