jpnn.com, JAKARTA - Persaudaraan sesama muslim (ukhuwah islamiyah), yang dikembangkan menjadi persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah), harus menjadi perekat di tengah kontestasi politik nasional yang tengah berlangsung saat ini. Kesadaran membangun persaingan yang sehat juga harus menjadi pegangan.
“Untungnya persaingan kita saat ini ada panggungnya, ada aturannya. Ketika persaingan dibingkai dengan aturan, dan was it yang adil, Maka kontestasi sehat dipastikan terwujud. Alquran sendiri mengajarkan untuk bersaing dengan sehat. Yang tidak boleh adalah persaingan yang tidak sehat,” ujar Pjs Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Marsudi Syuhud dalam webinar yang diadakan Moya Institute bertema “Ukhuwah Islamiyah Vis a Vis Krisis Global dan Kontestasi Politik 2024”, Senin (17/4).
BACA JUGA: Jabatan Panglima TNI Bisa Diperpanjang Hingga Pemilu 2024 Selesai
Dalam setiap persaingan selalu ada ancaman perpecahan. Terlebih bangsa Indonesia terdiri dari bermacam suku, bahasa, agama, dan kelompok lainnya.
Dengan adanya semangat persaudaraan kebangsaan, maka akan tumbuh solidaritas di antara sesama anak bangsa.
BACA JUGA: Menuju Pemilu 2024, PDIP Gembleng Dai & Ulama dengan Pelatihan Dakwah Digital
“Bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku, bahasa, agama, telah bertekad untuk bersatu menjadi ummatan wahidah, bangsa yang satu,” ujarnya.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Abdul Mu'ti mengatakan untuk mewujudkan kontestasi politik pemilihan umum yang aman dan damai, maka penyelenggaraannya harus dilaksanakan secara baik, sehingga tidak memunculkan masalah.
BACA JUGA: PPP Petakan Strategi Pemenangan Pemilu Bersama 38 Ketua Hingga LP2 Wilayah se-Indonesia
Mu'ti mengatakan, bila pun ternyata dalam penyelenggaraan pemilu masih timbul masalah, maka penyelesaiannya harus dituntaskan tanpa memecah persatuan bangsa Indonesia.
"Situasi penyelenggaraan pemilu yang kondusif serta berkualitas harus terpenuhi agar tercipta kontestasi politik yang sehat. Untuk mencapai kontestasi politik yang sehat itu semua komponen bangsa tidak boleh pasif," ucap Mu'ti.
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia Prof Komaruddin Hidayat mengatakan, hingga saat ini pemilu masih dianggap sebagai instrumen demokrasi terbaik oleh masyarakat, termasuk umat Islam di dalamnya.
Kendati harus diakui, pemilu juga memiliki ketidaksempurnaan dalam penyelenggaraannya, misalnya saja masyarakat tergolong masih tidak mampu memilih pemimpin yang baik berbasis rasionalitas, human emosional.
"Bisa saja ada oknum politisi dalam pemilu yang bermain uang, apalagi ada oligarki yang hamburkan banyak uang untuk membeli suara. Jika keadaannya demikian maka pemilu yang seharusnya sehat harus diselamatkan," tukas Komaruddin.
Pemerhati isu-isu strategis Prof Dubes Imron Cotan memaparkan, perlu kesadaran semua komponen bangsa bahwa dalam situasi konflik dan persaingan global seperti tercermin dalam perang Ukraina - Russia, sikap persatuan dan kesatuan bangsa justru harus dirawat supaya tidak memecah bangsa Indonesia.
Imron menyinggung sikap Presiden Jokowi dan Wakil Presiden KH Maruf Amin yang mengingatkan agar menghentikan polarisasi politik pada pemilu dalam rangka memenangkan kontestasi, sebab harganya amat mahal.
"Saya kira jika pada tataran pemimpin kita sudah bersikap begitu, maka di tingkat masyarakat harusnya menjaga persatuan bangsa agar tidak terpecah di tengah terpaan cobaan nasional maupun global," cetus Imron.
Direktur Eksekutif Moya Instiute Hery Sucipto menjelaskan, Indonesia merupakan bangsa majemuk yang memiliki kekuatan besar tetapi juga sumber persoalan. Namun konsekuensi tersebut dapat diatasi dengan Pancasila untuk terus membangun dan menjaga persatuan kesatuan. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif