Pemimpin Sudah Tak Dipercaya Menteri, Pemerintah Terancam Bubar

Rabu, 06 Juli 2022 – 23:31 WIB
Big Ben dan Gedung Parlemen Inggris. Foto: AFP

jpnn.com, LONDON - Jabatan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson berada di ujung tanduk setelah dua menteri kabinetnya mengundurkan diri dan sejumlah anggota parlemen mendesaknya untuk mundur.

Menteri keuangan dan menteri kesehatan Inggris serta beberapa pejabat di bawah mereka meletakkan jabatan pada Selasa.

BACA JUGA: Menteri Tito Karnavian Ditunjuk Memimpin KemenpanRB, Wakil Ketua DPR: Sudah Tepat

Mereka mengatakan tak bisa lagi bekerja untuk pemerintah setelah serangkaian skandal menghantam pemerintahan Johnson.

Meski seruan agar Johnson mengundurkan diri terus meluas, dia bertekad untuk tetap menjabat dengan menunjuk pengusaha yang juga menteri pendidikan, Nadhim Zahawi, sebagai menkeu yang baru, dan mengisi beberapa posisi yang kosong.

BACA JUGA: Heboh Pencabulan Santriwati di Ponpes Depok, Menteri Bintang Bereaksi Keras

"Saya menduga kami akan terpaksa menyeretnya, menendang dan meneriakinya (agar keluar) dari Downing Street," kata seorang anggota parlemen dari partai Konservatif kepada Reuters, yang berbicara secara anonim.

"Tapi jika kami harus melakukannya seperti itu maka kami akan melakukannya."

BACA JUGA: Selamat, Menteri Siti Nurbaya Dapat Gelar Profesor Kehormatan dari UB

Seberapa besar penentangan pada Johnson di kalangan partainya sendiri akan terungkap pada Rabu ketika dia menghadiri sesi tanya-jawab mingguan di parlemen dan di hadapan komite terpilih selama dua jam.

Johnson, mantan jurnalis dan wali kota London yang mewakili wajah Inggris pasca-Brexit, memenangi pemilihan secara telak pada 2019.

Sejak itu, pemerintahannya telah mengambil pendekatan agresif dan tak jarang memicu kekisruhan.

Kepemimpinannya diwarnai berbagai skandal dan salah langkah selama beberapa bulan terakhir.

Sang perdana menteri didenda polisi karena melanggar penguncian COVID-19 dan sebuah laporan yang memberatkan diterbitkan tentang kelakuan para pejabatnya di Downing Street –sebutan bagi kantor dan kediaman perdana menteri Inggris– yang melanggar aturan pembatasan COVID-19 yang mereka buat sendiri.

Ada juga kebijakan yang berubah arah, pembelaan pada anggota parlemen yang melanggar aturan lobi, dan kritik bahwa Johnson tak cukup bertindak untuk mengatasi krisis yang membuat banyak warga Inggris kesulitan menghadapi kenaikan harga pangan dan bahan bakar.

The Times of London mengatakan "rentetan ketidakjujuran" Johnson "betul-betul merusak" pemerintahan yang efektif.

"Demi kebaikan negara ini, dia harus pergi," kata harian itu.

Drama terbaru di jantung kekuasaan Inggris muncul ketika ekonomi merosot tajam. Para ekonom mengingatkan bahwa negara itu bisa jatuh ke dalam resesi.

Skandal terakhir muncul ketika Johnson meminta maaf telah menunjuk seorang anggota parlemen untuk ditugaskan di partainya, bahkan setelah diberi tahu bahwa politikus itu pernah dilaporkan dalam kasus pelanggaran seksual.

Skandal itulah yang mendorong Rishi Sunak mundur sebagai menteri keuangan dan Sajid Javid melepas jabatannya sebagai menteri kesehatan, sementara setengah lusin pejabat yunior juga ikut mengundurkan diri.

"Jelas bagi saya bahwa situasi ini tidak akan berubah di bawah kepemimpinan Anda, dan Anda telah kehilangan kepercayaan dari saya juga," kata Javid dalam surat pengunduran dirinya.

Mereka yang mundur menyebutkan bahwa Johnson tidak memiliki penilaian, standar, kemampuan untuk mengatakan kebenaran.

Jajak pendapat singkat YouGov menunjukkan bahwa 69 persen warga Inggris berpendapat Johnson harus turun dari kursi perdana menteri.

Kendati demikian, para anggota kabinet lain di pemerintahan saat ini masih mendukungnya.

"Saya mendukung penuh perdana menteri," kata Menteri Skotlandia Alister Jack. "Saya prihatin melihat kolega-kolega baik mengundurkan diri, tetapi kami punya tugas besar untuk dilakukan."

Satu bulan lalu, Johnson lolos dalam pengumpulan suara mosi tidak percaya oleh para anggota parlemen Konservatif, dan menurut aturan partai dia tidak akan menghadapi mosi seperti itu lagi selama setahun.

Namun, beberapa anggota parlemen berusaha mengubah aturan itu, sementara Johnson juga diselidiki oleh sebuah komite atas dugaan telah membohongi parlemen terkait pelanggaran penguncian COVID-19 yang dilakukannya.

Jika Johnson lengser, proses untuk mencari penggantinya akan memakan waktu beberapa bulan.

Dua setengah tahun yang lalu, Johnson meraup suara mayoritas di parlemen dengan janji akan menyelesaikan persoalan bertahun-tahun sejak Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit).

Namun sejak itu, cara dia menangani pandemi telah menuai kritik dan pemerintahannya bergerak dari satu masalah ke masalah lainnya.

Meski Johnson meraih pujian atas dukungannya kepada Ukraina, hal itu tidak mengerek popularitasnya dalam jajak-jajak pendapat.

Peringkat Konservatif berada di bawah partai Buruh oposisi, dan popularitas Johnson anjlok ke titik terendah sepanjang kariernya.

Gaya pemerintahannya yang agresif kepada Uni Eropa telah membebani mata uang Inggris, memperparah inflasi yang diprediksi akan menembus angka 11 persen.

"Setelah semua kebusukan, skandal dan kegagalan ini, jelas bahwa pemerintahannya kini mulai runtuh," kata ketua partai Buruh Keir Starmer. (ant/dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler