Pemindahan Ibu Kota Belum Jelas, Masih Wacana

Jumat, 14 April 2017 – 05:47 WIB
Kota Palangka Raya saat terjadi bencana kabut asap. Ilustrasi Foto: JPG/dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Palangkra Raya, Kalteng, dianggap masih wacana, belum konkret.

Jika pemerintah serius merealisasikannya, tentu presiden segera mengutus anggota kabinet untuk melakukan pembahasan riil dengan DPR.

BACA JUGA: Jangan Sampai Pindah dari Daerah Rawan Banjir ke Rawan Asap

Anggota Komisi V DPR dari Fraksi Partai Gerindra Nizar Zahro menyatakan, pemindahan ibu kota negara dari Jakarta merupakan langkah mustahil bagi pemerintah saat ini.

’’Menurut saya, itu tidak logis dan tidak mungkin,’’ kata Nizar dalam diskusi wacana pemindahan ibu kota negara di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (13/4).

BACA JUGA: Mau Pindahkan Ibu Kota? Dasar Hukumnya Apa?

Nizar menilai, sampai saat ini, wacana pemerintah itu sebatas pernyataan lisan. Kajian Bappenas terkait dengan pemindahan ibu kota negara juga belum jelas.

Karena itu, tidak masuk akal bila pemerintah ingin merealisasikan rencana pemindahan ibu kota.

BACA JUGA: Yakin Negara Punya Dana untuk Memindah Ibu Kota?

’’Yang realistis saja, UU Nomor 29 Tahun 2007 masih jelas menyebut DKI Jakarta sebagai ibu kota negara. Kecuali, ada pengajuan UU. Itu baru serius,’’ tegasnya.

Anggota Komisi II DPR Achmad Baidowi mengakui, memindahkan ibu kota negara memang tidak sesederhana yang dibayangkan, tetapi bisa dilakukan.

Yang penting adalah komitmen untuk merealisasikan pemindahan tersebut.

’’Kita jangan alergi memindahkan ibu kota atau pusat pemerintahan,’’ tutur Awiek, sapaan akrabnya.

Menurut Awiek, sudah menjadi fakta bahwa Jakarta mengalami kelebihan daya tampung. Kasus macet dan banjir menjadi kerugian yang harus dialami warga Jakarta dan warga komuter sekitar Jakarta.

Untuk merealisasikan pemindahan ibu kota, sebaiknya diukur perbandingan biaya bulanan beserta angka kerugian tinggal di Jakarta dengan biaya membangun infrastruktur baru untuk pusat pemerintahan baru.

’’Bandingkan saja lebih tinggi mana supaya jadi ukuran,’’ ujar wakil Sekjen PPP tersebut.

Menurut Awiek, jika biaya membangun infrastruktur ibu kota baru lebih rendah, sebaiknya pemerintah mempertimbangkan serius lokasi pusat pemerintahan baru.

Namun, pemindahan ke ibu kota baru harus disertai perencanaan yang terperinci.

’’Persiapkan transportasi masal, termasuk antisipasi bencana. Ibu kota baru jangan di lokasi tanah yang labil. Atau, jika ada bencana asap, apa antisipasinya,’’ terang Awiek.

Dia sepakat dengan Nizar bahwa wacana pemindahan ibu kota negara harus dilakukan dengan revisi UU.

Penyebutan DKI sebagai ibu kota negara dan pusat pemerintahan harus dihapus bila telah ditetapkan lokasi ibu kota yang baru. Dibutuhkan pula komitmen dan keseriusan pemerintah.

’’Kalau ada keberanian politik, kultur-kultur politik itu nanti tercipta dengan sendirinya,’’ ungkap Awiek.

Anggota Komisi XI Johnny G. Plate sepakat dengan Awiek. Untuk mengukur efisiensi pemindahan ibu kota negara, pemerintah bisa menghitung secara riil angka inefisiensi yang terjadi di Jakarta.

’’Tata ruang ibu kota saat ini sudah overpopulated. Kalau outlook tidak jalan, bisa-bisa jalan kaki pun macet,’’ kata Plate.

Berbeda dengan Nizar dan Awiek, Plate menilai perubahan UU belum perlu. Sebaiknya dilakukan kajian matang lebih dulu terkait dengan calon ibu kota negara baru.

Saat semua kesimpulan sudah terukur dan teruji, baru dipersiapkan revisi UU terkait.

’’Kami mendukung untuk mempertimbangkan (pemindahan ibu kota, Red) secara rasional dan ekonomis,’’ tandasnya. (bay/c14/agm)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dari Soekarno Sampai Jokowi, Baru Wacana Saja


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler