Pemohon Visa Wajib Serahkan Password Medsos

Kamis, 09 Februari 2017 – 07:25 WIB
White House. Foto: Karen Bleier/AFP

jpnn.com - jpnn.com - Belum surut polemik kebijakan Muslim Ban, pemerintahan Presiden AS Donald Trump kembali mengeluarkan aturan yang terkait keimigrasian.

Kini dengan dalih yang sama yakni keamanan AS, Departemen Keamanan Dalam Negeri bakal meminta para pemohon visa melampirkan password alias kata sandi media sosial (medsos) mereka.

BACA JUGA: DPR Inggris Tak Sudi Dengar Pidato Trump

’’Yang segera kami wujudkan adalah penegasan. Yakni, beberapa syarat tambahan pada tahap pemeriksaan (imigran atau pengungsi, Red),’’ kata Menteri Keamanan Dalam Negeri John Kelly dalam hearing Komite Keamanan Dalam Negeri House of Representatives (setingkat DPR).

Dalam pertemuan Selasa (7/2) itu, dia mengungkapkan bahwa target utama kebijakan departemennya masih tetap tujuh negara blacklist Trump.

BACA JUGA: Apple, Levis, Google...97 Perusahaan Menggugat Trump!

Kelly menyatakan, Iran, Iraq, Libya, Somalia, Sudan, Syria, dan Yaman merupakan contoh negara dengan sistem keamanan yang lemah.

Karena itu, untuk mencegah lolosnya individu radikal dari negara-negara tersebut, AS memperketat pemeriksaan.

BACA JUGA: PAN Kecam Kebijakan Imigrasi Donald Trump

Bukan hanya dokumen, tetapi juga latar belakang masing-masing individu. ’’Kami sangat mungkin melacak media sosial mereka dengan meminta password,’’ tegasnya.

Rencananya, Departemen Keamanan Dalam Negeri menginstruksi seluruh kedutaan besar AS di seluruh dunia untuk meminta kata sandi media sosial dari para pemohon visa.

Mulai Facebook, Twitter, dan Instagram. Dengan demikian, Washington bisa mengecek aktivitas para pemohon visa di jagat maya.

Termasuk, melacak situs apa saja yang paling banyak diakses si pemohon visa.

Lewat cara itu, menurut Kelly, AS akan lebih mudah mendeteksi perilaku tidak wajar para pemohon visa.

’’Itu hanya salah satu mekanisme yang kami usulkan demi mencegah masuknya orang-orang radikal ke negara ini. Itu bisa menjadi alternatif untuk menangkal teroris atau menjauhkan AS dari segala bentuk teror,’’ jelas mantan petinggi korps Marinir tersebut.

Begitu mendeteksi ketidakwajaran pada media sosial si pemohon visa, kedutaan besar AS berhak langsung menolak permohonan individu tersebut.

Bahkan, individu itu bisa masuk ke dalam daftar orang-orang yang diawasi Washington.

Kendati paparannya sudah sangat terperinci, Kelly menyatakan bahwa rencana tersebut belum akan menjadi kebijakan departemennya. Dia masih menunggu masukan dari para legislator.

Para pakar dan organisasi HAM langsung memprotes Kelly. Mereka menganggap skrining ala Departemen Keamanan Dalam Negeri itu berlebihan.

’’Identitas online seseorang adalah akses menuju data melimpah tentang orang tersebut. Baik itu ekspresi yang dia unggah di dunia maya maupun informasi sensitif lainnya. Itu akan memengaruhi relasi individu tersebut dengan orang lain dan komunitas tertentu,’’ terang mereka.

Jika mekanisme yang bertentangan dengan prinsip dasar HAM itu tetap diterapkan, AS pun harus siap-siap mendapat perlakuan yang sama dari negara lain.

’’Itu akan membuat bangsa-bangsa lain menerapkan mekanisme yang sama. Karena itu, jangan kaget jika suatu saat nanti warga AS wajib menuliskan kata sandi akun Facebook mereka jika ingin berkunjung ke tempat lain,’’ ujar sumber Agence France-Presse.

Namun, Kelly tidak menganggap semua itu sebagai kendala. Tokoh 66 tahun tersebut menegaskan bahwa semua pemohon visa yang punya tujuan baik tidak akan keberatan memberitahukan kata sandi media sosial mereka pada kedutaan besar AS.

’’Apabila memang ingin masuk AS, mereka pasti akan mau bekerja sama. Tapi, jika tidak, ya silakan batal saja,’’ ungkapnya.

Sementara itu, daftar teror Gedung Putih yang disampaikan Trump setelah mengunjungi markas Central Command Senin (6/2) menuai protes. Rosie Ayliffe menyatakan, 78 insiden yang diidentifikasi Washington sebagai aksi teror itu tidak akurat.

Sebab, ada beberapa insiden yang sama sekali tidak berkaitan dengan terorisme. Termasuk insiden yang merenggut nyawa putrinya, Mia Ayliffe-Chung.

Tahun lalu Mia yang berusia 21 tahun menjadi korban penikaman. Trump memasukkan insiden yang menewaskan dua backpacker asal Inggris tersebut sebagai aksi teror.

’’Dalam investigasi awal pun, polisi sudah langsung mengesampingkan unsur teror dalam insiden yang merenggut nyawa Mia dan temannya, Tom. Insiden itu tidak berkaitan dengan Islam radikal atau terorisme,’’ tegasnya dalam surat terbuka.

Ayliffe mengungkapkan, satu-satunya fakta yang merujuk pada Islam hanyalah ucapan pelaku sebelum beraksi.

Saat itu, Smail Ayad, si pelaku, meneriakkan ’’Allahu akbar’’ sebelum menikam dua korbannya hingga tewas.

’’Tidak ada motivasi lain yang melatarbelakangi perbuatan pelaku. Itu murni pembunuhan. Aksi kriminal,’’ terang Ray Rohweder, detektif yang menangani kasus pembunuhan Mia dan Tom. (AFP/Reuters/Sputnik/hep/c5/any)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jaksa Agung Dipecat, Direktur Imigrasi Diganti, Next?


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler