Pemuda Katolik Tolak WNI Eks ISIS ke Indonesia, Begini Alasannya

Senin, 10 Februari 2020 – 02:25 WIB
Logo Pemuda Katolik. Foto: Istimewa

jpnn.com, JAKARTA - Rencana pemulangan dan diakui kembalinya eks kelompok militan anggota ISIS ke Tanah Air, beberapa waktu belakangan menuai berbagai polemik pro kontra.

Wakil Ketua Bidang Politik, Hukum dan HAM Pemuda Katolik Komisariat Daerah DKI Jakarta Martin Mantro mengatakan rencana pemulangan militan ISIS dapat mengganggu stabilitas negara dalam waktu yang panjang. Pasalnya, militan ISIS sudah memutuskan bergabung bersama ISIS adalah tindakan yang dilakukan dengan sadar apalagi telah dilatih oleh pejuang ISIS lainnya. Kemungkinan hidupnya sel-sel yang semu dan berpotensi membahayakan dan mengancan negara bisa terjadi.

BACA JUGA: NasDem: Rencana Pemulangan WNI Eks ISIS Buah Pemikiran Sesat

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme juga sebelumnya sudah menyampaikan bahwa proses deradikalisasi selama ini tidak mudah, mengingat berbagai persoalan radikalisme dan terorisme yang merebak di Indonesia.

Pada kesempatan terpisah, Ketua Pemuda Katolik DKI Jakarta Bondan Wicaksono menyampaikan menolak rencana pemulangan eks ISIS karena bisa mengganggu keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BACA JUGA: Nabil Haroen: WNI Eks ISIS Harus Diberi Sanksi

Bondan meminta Pemerintah tegas dan berhati-hati menyikapi status kewarganegaraan warga negara Indonesia (WNI) eks kombatan ISIS namun pencabutan Warga Negara seseorang juga harus mengacu pada aturan perundang-undangan.

Menurut Bondan, berdasarkan aturan internasional, sebuah negara tak boleh membiarkan warga negaranya tak memiliki kewarganegaraan atau stateless. Hal ini disampaikan Bondan terkait status kewarganegaraan WNI eks ISIS yang telah membakar paspornya dan ingin pulang ke Tanah Air.

BACA JUGA: Kondisi Ekonomi Sudah Parah, Buat Apa Memikirkan WNI Eks ISIS

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan sudah mengatur jelas soal status warga negara. Setiap orang bisa dicabut status kewarganegaannya bila menjadi warga negara lain, menerima paspor dari negara lain, dan bersumpah setia pada negara lain.

"Pertanyaannya ISIS negara bukan? UN (United Nations/PBB) mengatakan ISIS ini organisasi teroris, bukan sebuah negara".

"Aturan internasional mengatakan enggak boleh ada stateless.  Kalau Indonesia mau melakukan removal citizenship, bikin Undang-undang. Tiru Inggris dan Jerman," kata Bondan di Jakarta.

Bondan mengatakan, jika pemerintah ingin mencabut kewarganegaraan WNI eks ISIS, maka Indonesia mesti membuat peraturan baru bahwa negara memiliki wewenang untuk mencabut kewarganegaraan seseorang yang terlibat terorisme, seperti Jerman.

"Dalam UU kewarganegaraan kita enggak ada. Yang ada kalau 5 tahun tanpa pemberitahuan tidak ada tugas negara dan tidak menyampaikan bahwa dia berkeinginan tetap disana, ada pasalnya. Tetapi pertanyaannya, apa semua 5 tahun? ada yang 2 tahun. Jadi pasal itu enggak berlaku, kan. Tetap ada problematiknya dan itu kelemahan UU kita" katanya.

Meski begitu, kebijakan removal citizenship tak lepas dari kritik internasional. Adapun membuat undang-undang baru/Perppu membutuhkan waktu yang lama, atau yang paling cepat dengan Kepres.

Untuk itu, Bondan menyarankan agar Pemerintah melakukan profiling terhadap 600 WNI eks ISIS itu dan pemerintah bisa melakukan pencabutan Kewarganegaraan yang masuk dalam organisasi teroris.

"Saran kami bisa di profiling 600 itu. Langkahnya mungkin adili internasional, atau minta negara ketiga adili, misalnya turki. Kerja sama dengan Turki supaya diadili di Turki," ujarnya.

Adapun opsi lainnya itu membiarkan mereka diadili oleh SDF (Syirian Democratic Forces) ataupun Kurdistan state. "Walau ini unik ada komplikasi hukum karena Kurdistan itu baru Amerika yang akui sebagai negara. Indonesia juga belum. Apa boleh yang bukan negara mengadili warga negara kita?" ujarnya.

Untuk itu pemerintah harus tegas termasuk dalam kebijakan dan pembuatan peraturan termasuk pemberantasan terorime yang bisa mengancam NKRI ke depan.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler