Peserta program Pertukaran Pemuda Muslim Indonesia Australia berbagi pandangan mereka saat melihat secara langsung komunitas Muslim di Australia.
Kelima peserta tersebut adalah Hijroatul Maghfiroh yang aktif di program pemberdayaan perempuan Nahdlatul Ulama (NU); Syahruddin Sumardi Saminjaya, dosen di Universitas Darussalam Gontor di Jawa Timur; Fadhliani Putri Mayasri, seorang dokter dan aktif di Asosiasi Tionghoa Muslim Indonesia di Medan (Sumatera Utara); Shaffira Gayatri yang aktif dalam program bantuan bagi pengungsi di Jakarta; dan Syahrul, dosen kajian Islam di Universitas Cokroaminoto, Makasar.
BACA JUGA: Pakar Australia Sarankan Penderita Kanker Untuk Berolahraga
Dalam kunjungannya ke Australia, mereka menghabiskan beberapa hari di Melbourne dilanjutkan ke Sydney dan Canberra.
Selama berada di Australia mereka bertemu dan berinteraksi secara langsung dengan komunitas Muslim Australia, serta mengunjungi sejumlah tempat berkaitan dengan Islam, seperti masjid dan museum.
BACA JUGA: Tidak Ada Negara Ketiga Yang Mau Menerima Pengungsi Manus Island
Mereka juga sempat berkunjung ke kantor ABC Melbourne di kawasan Southbank dan menceritakan pengalaman dan pandangannya soal Islam dan komunitas Muslim di Australia. Terkesan dengan kiprah perempuan Muslim
Para peserta perempuan mengaku sangat terkesan setelah bertemu dan berbincang dengan sejumlah sosok perempuan Muslim di Melbourne.
BACA JUGA: Mengandalkan Sumber Makanan di Tempat Sampah di Australia
Bagi Hijroatul, yang akrab dipanggil Firoh, yang membuatnya terkesan dengan perempuan Muslim di Australia adalah latar belakang pendidikan yang beragam dan bukan jurusan yang biasanya banyak diambil perempuan di Indonesia. Mereka juga berasal dari suku dan negara yang berbeda-beda, tetapi identitas yang dikedepankan adalah sebagai seorang Muslim.
"Ada pencampuran identitas, antara identitas sebagai warga Australia tapi juga memiliki nilai-nilai budaya dari negara asal dan sekaligus memegang teguh nilai Islam," kata Firoh.
Sementara Shaffira mengatakan pencampuran beragam identitas membentuk sebuah pribadi yang unik.
"Mereka mengedepankan identitas Muslim yang kuat, karena mungkin secara nasionalisme kurang kuat dibandingkan dengan identitas Muslimnya yang lebih menonjol," ujarnya
"Yang berkesan bagi saya, perempuan-perempuan ini sejak kecil sudah dididik berani berbicara, pintar, karena mereka memang dibentuk untuk menjadi suara bagi komunitas Muslim yang minoritas." Photo: (Kiri ke kanan) Syahruddin dan Syahrul didampingi Rowan Gould dari Muslim Exchange Program saat berbincang di kantor ABC Melbourne. (ABC News, Erwin Renaldi)
Tantangan jadi minoritas
Tapi Firoh menilai memiliki identitas budaya dari negara lain membuat setiap individu menghadapi tantangan yang berbeda dalam waktu bersamaan.
"Di satu sisi mereka terbentur saat berhubungan dengan komunitas negara asalnya yang mengusung perspektif Islam tradisional dan di sisi lain ia juga menjadi komunitas minoritas yang juga menjadi korban Islamophobia," jelasnya.
Firoh menganggap komunitas Muslim di Australia hebat dan lebih kuat karena perlu memperjuangkan lebih identitas Muslimnya dibanding di Indonesia.
Ia juga mengaku telah mempelajari soal kebebasan beragama di Australia dan bagaiman bisa mengimplementasikannya di Indonesia dalam memperlakukan minoritas.
"Mereka mengatakan pemerintah Australia dan masyarakatnya banyak mendukung pembangunan masjid, lantas mengapa di Indonesia kita mempermasalahkan jika ada yang membangun gereja?"
"Di Australia juga tidak ada menteri agama, sehingga negara tidak terlalu mencampuri urusan keagamaan, seperti ke-Islaman, sehingga bisa lebih mengekspresikan diri seperti pakai cadar atau berjanggut."
Shaffira berpendapat mungkin karena mayoritas warga Indonesia beragama Islam, sehingga mereka menerima keadaan sebagai Muslim begitu saja.
"Sementara mereka disini harus lebih berjuang dan lebih memiliki visi dan misi untuk memberikan sesuatu kembali pada masyarakat," kata Shaffira.Perceraian jadi topik hangat
Salah satu topik yang menjadi perhatian para peserta pertukaran pemuda Muslim ini adalah soal perceraian di kalangan Muslim Australia.
Meski para perserta mengaku terkesan dengan kiprah perempuan Muslim yang sangat aktif berkontribusi di masyarakat, mereka cukup terkejut jika perempuan Muslim di Australia tidak bisa menggugat cerai, sebelum mendapat izin dari imam.
"Saat kita berbincang dengan perempuan Muslim disini, mereka mengaku masih alami kesulitan untuk mengajukan perceraian kepada imam," ujar Fadhliani, yang sering dipanggil Yani.
"Sementara di Indonesia ada pengadilan agama, sehingga perempuan juga bisa ajukan bercerai."
Firoh berpendapat perempuan Muslim di Australia menghadapi tantangan tersendiri saat komunitas dari negara asalnya memandang dan memposisikan diri mereka sebagai perempuan di negara barat.Soal radikalisme Islam di Indonesia Photo: Masjid milik Australian Islamic Centre adalah masjid terbaru di Melbourne yang berlokasi di kawasan Newport. (ABC News, Erwin Renaldi)
Para peserta pertukaran pemuda Muslim juga dimintai pendapatnya soal Islam radikal di Indonesia yang baru-baru ini menjadi sorotan media di sejumlah negara.
Akhir bulan April lalu, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan mengatakan hampir 40 persen mahasiswa di Indonesia terpapar ajaran radikalisme.
Survei soal radikalisme pernah dilakukan juga oleh beberapa lembaga kajian lainnya, seperti Wahid Foundation, Mata Air Foundation, dan Alvara Research Centre.
Menurut Syahrul, yang juga aktif berorganisasi bersama Dewan Kaderisasi Muhammadiyah, radikalisme di Indonesia sangat sulit untuk mengukur bentuknya.
"Tapi secara ideologi, radikal dan ekstrimisme di Indonesia tidak hanya tumbuh di kalangan mahasiswa, tapi juga di kalangan pelajar SMP dan SMA," ujarnya.
"Bibit radikalisme mulai tumbuh, misalnya hal yang sederhana, di beberapa sekolah mereka mendapat arahan dari guru atau temannys sendiri untuk membenci etnis atau agama lain."
Karenanya menurut Syahrul masalah radikal di Indonesia dianggap mengkhawatirkan oleh pemerintah pusat sehingga semakin menggalakkan pendidikan Pancasila di sekolah-sekolah.
"Tapi sekarang ini juga sedang terjadi perang media, sehingga berita-berita seperti ini menjadi bahan jualan untuk kepentingan politik tertentu."
Sementara Syahruddin mengaku di universitas tempat ia mengajar sudah ada seleksi untuk pengajaran paham radikal dan ekstrimisme, baik terkait Islam atau bukan.
"Kita dari awal sudah melakukan seleksi dosen, kemudian kita uji mereka lewat forum-forum dimana mereka menjadi pembicara sehingga bisa terlihat cara pemikirannya."
Syahruddin mengaku belum menemukan dosen yang mengusung paham radikal Islam dan pihak Universitas Darussalam Gontor akan tetap waspada soal ini.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengusaha China Ditangkap karena Hendak Menyuap Polisi di PNG