Pemulihan Industri Penerbangan Butuh Insentif Pemerintah  

Jumat, 26 Februari 2021 – 16:37 WIB
Beberapa maskapai pesawat sedang terparkir. Foto Ilustrasi/jpnn.com

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Indonesia Air Carries Association (INACA) Denon Prawiraatmadja mengatakan, maskapai penerbangan membutuhkan insentif perpajakan.

Hal itu diperlukan guna pemulihan industri penerbangan tanah air dari keterpurukan imbas pandemi Covid-19.

BACA JUGA: Imbas Corona, Industri Penerbangan Lakukan Opsi Setop Beroperasi Hingga PHK Pilot

Apalagi, industri penerbangan merupakan salah satu kontributor utama perekonomian Indonesia, yang memberikan kontribusi lebih dari 2,6 persen produk domestik bruto (PDB), serta menyediakan 4,2 juta pekerjaan.

Denon mengungkapkan, seluruh maskapai nasional sudah mengajukan permohonan kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan sejak Maret 2020.

BACA JUGA: Industri Penerbangan Lesu, Penjualan Tiket Pesawat Lewat Traveloka Naik 30 Persen

“Keputusan insentif perpajakan ini ada di tangan Kemenko Perekonomian. Saya berharap insentif ini bisa segera direalisasikan, karena ini membantu sekali untuk maskapai,” tutur Denon, dalam keterangan tertulis, Jumat (26/2).

Dia menambahkan, ada sekitar 36 perusahaan yang tergabung dalam asosiasi mengajukan permintaan insentif perpajakan. Namun, Denon memaklumi bahwa menghitung besaran Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) puluhan maskapai bukan perkara mudah.

BACA JUGA: Jika Harga Tiket Pesawat Diatur Pemerintah, Hancur Industri Penerbangan

“Sampai sekarang kami cukup intens berkomunikasi dengan Kemenko Perekonomian untuk menghitung besaran insentifnya. Tapi karena ini menyangkut dana pemerintah, tentu tidak boleh salah menghitungnya, harus benar-benar sesuai,” Denon menuturkan.

Selain itu, lanjut Denon, maskapai penerbangan juga membutuhkan fleksibilitas pembayaran ke sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terkait dengan penerbangan, seperti Pertamina, operator bandara Angkasa Pura I dan II, dan AirNav.

Fleksibilitas pembayaran ke Pertamina, menurut Denon, terkait dengan biaya avtur. Biaya bahan bakar ini memakan 40-45 persen biaya operasional maskapai. Sementara, Pertamina adalah penyedia avtur satu-satunya di tanah air.

“Kami mohonkan adalah fleksibilitas mekanisme pembayaran biaya-biaya, seperti biaya avtur, navigasi, dan biaya-biaya kebandaraan lainnya dari Airnav dan Angkasa Pura,” ujarnya.

Sejauh ini, menurut dia, BUMN pun belum menyetujui permintaan fleksibilitas pembayaran tersebut.

Secara terpisah, CEO Indonesia AirAsia Veranita Yosephine mengatakan bahwa pihaknya senantiasa bernegosiasi dengan pengelola bandara terkait biaya parkir pesawat yang tidak aktif untuk mendapatkan penundaan atau pemotongan biaya. Selain itu, maskapai juga mengharapkan adanya subsidi biaya tersebut sebagai bentuk dukungan pemerintah.

Menurut Yosephine,  industri penerbangan juga akan terbantu dengan adanya percepatan vaksinasi dan upaya-upaya mempermudah tes Covid-19 untuk meringankan biaya perjalanan dengan transpotasi udara.

Saat ini, salah satu insentif yang telah terealisasi adalah keringanan biaya Passenger Service Charge (PSC) untuk mendorong masyarakat bepergian dengan maskapai penerbangan.

“Kami terus berkoordinasi dengan otoritas, asosiasi dan pemangku kepentingan penerbangan agar bisa bertahan dan pulih dari kondisi dampak pandemi ini,” pungkasnya.(jlo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler