Penanganan Anak Jalanan Rawan Politisasi

Sabtu, 08 Desember 2012 – 06:00 WIB
MAKASSAR – Penanganan anak jalanan (anjal), gelandangan dan pengemis (gepeng) di kota ini panas-panas tahi ayam. Hanya bergairah jika menjelang pembahasan anggaran di dewan. Tidak salah jika keberadaan anjal dan gepeng seakan tiada habisnya.

Realitas yang terkesan dipelihara tersebut mendapat perhatian serius akademisi Unhas, Dr Rahmat Muhammad, MSi. Kepada FAJAR (JPNN Group), Sekretaris Jurusan Sosiologi FISIP Unhas itu mengatakan ada pola kerja terstruktur dan permainan oknum dari instansi terkait dan pelaku eksploitasi anak-anak.

“Bila kita amati kemudian menghubungkan keterikatannya, maka ada kecenderungan bahwa mereka yang di lapangan, antara yang mau diawasi dan yang mengawasi seolah-olah terjadi kesepakatan. Tentunya dalam hal ini, yang terjadi adalah kerja oknum, yang menghadirkan kesan kerja Depsos hanya bersifat formalitas saja,” ungkap Rahmat seperti dilansir FAJAR, Sabtu (8/12).
   
Mengapa demikian? Menurut Rahmat, pada fase tertentu Depsos turun ke jalan melakukan penertiban. Juga membentuk posko pada titik-titik tertentu. Bekerja secara sektoral, tidak menyeluruh. Di sisi lain, pada fase yang sama, kehadiran anak jalanan, pengamen, dan juga “Pak Ogah”, makin marak saja.
   
“Itulah sebenarnya mengapa kemudian muncul dugaan adanya kesepakatan. Padahal seharusnya Depsos tahu, bahwa kerja anjal, pengamen dan pengemis, dan juga “Pak Ogah” ada yang memobilisasi. Depsos harusnya mampu melihat pola yang terjadi sehingga dapat membuat hambatan laju,” urai Rahmat.
   
Sayangnya, lanjut Rahmat, yang terbaca oleh masyarakat adalah kinerja Depsos yang seolah-olah fokus pada penertiban hanya pada masa tertentu saja. Hal itu akhirnya memunculkan persepsi ada gerakan kerja sama oknum yang sengaja melakukan mobilisasi dan eksploitasi anak-anak.
   
“Sebab lewat itu ada celah untuk mendapatkan anggaran. Itu pun kemudian ada musim tertentunya, yang kadang terjadi pada saat pembahasan anggaran atau menjelang akhir tahun. Bila kita mau menghubungkan pola anjal dan penertibannya, yang terjadi bisa menghadirkan dugaan permainan oknum di Depsos, bekerja sama dengan mobilisator anak-anak,” ungkap Rahmat.    

Dia menambahkan, persoalan anjal, pengamen, dan “Pak Ogah” adalah fenomena dilematis kehidupan perkotaan. Ini dipicu tindakan masyarakat yang tidak mengindahkan regulasi.

Sosiolog lainnya dari Unhas, Dr HM Darwis, MA DPS, mengatakan bahwa persoalan anjal telah masuk pada studi kasus sosial kemasyarakatan yang cukup meresahkan. “Karena mereka sekarang ini sudah sangat mengganggu pengguna jalan,” tegas Darwis.
   
Darwis kemudian memetakan faktor pemicu fenomena anjal di Makassar menjadi tiga bagian. Pertama, karena kemiskinan. Kedua, karena mentalitas yang rendah. Lalu ketiga, akibat program kerja pemerintah yang tidak berjalan dengan baik.
   
“Ciri khas kota berkembang salah satunya adalah adanya golongan masyarakat yang tidak beruntung. Akibat dinamika persaingan yang kompetitif dan individualistik yang makin tinggi membuat mereka yang memiliki keterampilan pas-pasan menjadi tak berdaya, akhirnya beralih menjadi pengamen, anjal, atau pun “Pak Ogah” untuk mendapatkan uang dengan mudah,” lugas Darwis.

Solusi terbaik dari persoalan ini, kata Darwis, pemerintah harus menggenjot sektor industri. Membuka kemudahan investasi sehingga investor dengan mudah mengembangkan bisnisnya. Pada akhirnya, akan berimplikasi pada keterbukaan lapangan kerja.
   
“Diharapkan dengan itu mereka yang selama ini menjadi anjal, pengamen, atau pun “Pak Ogah” akan terserap sebagai tenaga kerja. Tentunya, di sisi lain, pemerintah juga harus memberi bekal keterampilan cukup, melalui balai latihan atau balai keterampilan pada instansi terkait,” urai Darwis. (rhd/min)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lima BUMN Ikut Lelang Jembatan Kartanegara

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler