Penangkapan Bupati Buol Dinilai Tak Manusiawi

Senin, 09 Juli 2012 – 21:20 WIB

JAKARTA - Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) menilai penangkapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Buol, Provinsi Sulawesi Tengah, Amran Batalipu dianggap tak manusiawi. Pasalnya, tersangka kasus suap pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan di Buol tidak melakukan perlawanan.

"Kita apresiasi usaha pemberantasan korupsi yang sudah dilakukan KPK selama ini, namun sangat disayangkan jika ia diperlakukan seperti itu, padahal sebenarnya dia tidak melakukan perlawanan,” kata Ketua Umum APKASI, Isran Noor di Jakarta, Senin (9/7).

Sebelumnya, Amran dijemput paksa di kediamannya di Buol dan tiba di gedung KPK, Jumat (6/7) pukul 20.50 WIB. Amran dengan tangan terborgol dan rompi antipeluru, dikawal ketat petugas KPK dan Brimob.

Amran menjadi tersangka korupsi karena diduga menerima suap Rp 3 miliar dari Yani Anshori dari PT Hardaya Inti Plantations (HIP) milik pengusaha Hartati Murdaya. Selanjutnya, Amran langsung menjadi penghuni Rutan KPK.

Kritik Isran terhadap proses penangkapan Amran disampaikan pada Lokakarya Nasional mengenai Mitigasi Resiko Terkait Diskresi Kepala Daerah Agar Terhindar Dari Pidana Korupsi di Hotel Sultan, Jakarta, Senin (9/7). Acara ini dihadiri 82 bupati. Turut pula sebagai pembicara, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Andhi Nirwanto, Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol. Supratman dan Anggota Dewan Pertimbangan, Ryaas Rasyid.

Menurut Isran, kepala daerah (Kada) terkadang menjadi korban kriminaliasi dari kebijakannya sendiri. Makanya, perlu ada rumusan hukum yang jelas agar Kada tidak terjebak dalam perkara tindak pidana korupsi seperti yang menimpa para Kada.

"Saya mohon kepada seluruh bupati, tolong bantu masalah-masalah yang terkait dengan hukum, seperti membuat suatu rumusan tentang hukum. Kalau bisa membuat fungsi hukum yang jelas," katanya.

Isran yang juga Bupati Kutai Timur merinci bahwa data Kementerian Dalam Negeri sejak tahun 2004 hingga 2012 tercatat sebanyak 173 kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota) terjerat kasus pidana korupsi. Bahkan informasi terakhir per 19 Juni 2012, disebutkan bahwa Menteri Dalam Negeri RI telah menandatangani izin pemeriksaan terhadap 200 kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, selanjutnya hal ini akan diteruskan kepada presiden untuk mendapatkan persetujuan.

“Data tersebut sangat memprihatinkan APKASI, terlebih berdasarkan fakta dilapangan tidak sedikit rekan-rekan Bupati maupun mantan Bupati yang tersandung kasus korupsi tersebut, yang disebabkan oleh kesalahan dalam mengambil kebijakan,” ujarnya.

Di tempat yang sama, Kabag Diklat Kemendagri Tarmizi mengatakan bahwa diskresi merupakan keleluasaan kepala daerah untuk mengeluarkan kebijakan, inisiatif, serta inovasi atau terobosan atas sesuatu yang tidak tegas untuk kepentingan publik. Kata dia, keleluasaan yang jarang digunakan Kada karena bisa terjebak dalam perkara.

"Lemahnya perundang-undangan yang melindungi Kepada Daerah dalam mengambil kebijakan diskresi membuat banyak daerah menjadi takut dalam mengembangkan program-program inovasi guna mensejahteraan rakyatnya,” katanya. (awa/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dasar Penentuan Upah Minimum Segera Terbit


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler