jpnn.com, JAKARTA - Penangkapan mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte oleh International Criminal Court (ICC) membelah publik Filipina.
Satu kelompok mendukung penangkapan itu, sementara kelompok lainnya dalam jumlah yang lebih besar mengecam keras langkah ICC.
BACA JUGA: Duterte Disebut Sebagai Sosok Tegas & Tidak Pandang Bulu dalam Memberantas Narkoba
Mantan Duta Besar Filipina untuk Arab Saudi yang saat ini tinggal di California, AS, Adnan Alonto berpendapat penangkapan mantan Presiden Duterte berdasarkan kasus yang diajukan oleh ICC mencerminkan bahwa pemerintah ini tidak dapat dipercaya.
“Pemerintah (Filipina) berjanji untuk tidak bekerja sama dengan ICC, karena negara ini memiliki sistem peradilan yang berfungsi. Membiarkan penangkapan ini melanggar dan mengurangi integritas cabang peradilan. Dispensasi ini akan melakukan apa saja untuk menyingkirkan keluarga Duterte,” ujar Adnan dilansir dari media setempat, Kamis malam, 20 Maret 2025.
BACA JUGA: Penangkapan Duterte, Tinjauan Tentang Kedaulatan Negara dan Yurisdiksi ICC
Pengacara hak asasi manusia internasional Arnedo Valera menyatakan bahwa penangkapan yang tidak sah terhadap mantan Presiden Rodrigo Roa Duterte. Hal itu bukan sekadar penyalahgunaan kekuasaan yang sembrono.
“Ini adalah salah perhitungan politik yang fatal dan putus asa oleh pemerintahan Marcos Jr atau Bongbong. Tindakan ini akan menghancurkan koalisi penguasa Marcos yang rapuh, memecah belah pasukan militer dan polisi serta memicu gelombang protes massa dan keresahan sosial di seluruh negeri,” kata Valera.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte Ditangkap di Bandara
Menurut Valera, hal ini akan mengguncang kepercayaan investor, memicu ketidakstabilan ekonomi, dan membuat oposisi semakin berani sehingga mempercepat jalan menuju perubahan rezim.
Di Indonesia pun reaksi yang sama juga muncul. Kali ini disuarakan oleh akademisi Indonesia yang bersimpati kepada Duterte.
Menurut pakar hubungan internasional, Prof. Anak Agung Banyu Perwita, langkah Presiden Bongbong terhadap pendahulunya itu amat sangat disayangkan.
Lebih lanjut, dia mengatakan dari sisi hukum sebenarnya tidak ada masalah karena setiap negara bebas menerapkan politik hukum yang keras terhadap pelaku kejahatan narkotika.
Apalagi yang sudah mengancam eksistensi negara bersangkutan dalam bentuk instabilitas keamanan nasional.
Indonesia sendiri, sambungnya, juga memiliki politik hukum yang keras terhadap penjahat narkotika kelas kakap dalam bentuk hukuman mati.
“Jadi, tidak ada yang salah dengan kebijakan Duterte yang menghabisi para pelaku kejahatan narkotika di Filipina. Negara ini sepenuhnya berdaulat menjalankan politik hukumnya,” ucap Prof Banyu dalam keterangannya, Kamis, 20 Maret 2025.
Bayu menambahkan Pemerintah Indonesia perlu menegaskan kembali sikapnya bahwa permasalahan yang menyangkut negara-negara anggota ASEAN harus diselesaikan di dalam kawasan.
Terutama melalui mekanisme yang dipimpin oleh ASEAN, bukan oleh institusi eksternal seperti ICC.
Prinsip ini sejalan dengan komitmen ASEAN terhadap kedaulatan regional dan prinsip non-intervensi sebagaimana diatur dalam Piagam ASEAN.
“Meskipun Indonesia mengakui pentingnya akuntabilitas dan keadilan, kami meyakini bahwa masalah semacam ini harus ditangani melalui kerangka hukum nasional dan regional, sesuai dengan prinsip persatuan dan sentralitas ASEAN,” ujar Bayu.
Menurut Prof. Banyu, Indonesia sebagai salah satu pendiri ASEAN secara konsisten mengadvokasi solusi regional untuk tantangan regional. ASEAN telah membangun.
“Harapannya sih Indonesia dapat menyatakan keprihatinannya atas perkembangan terbaru terkait tindakan ICC terhadap mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte,” pungkas Prof Bayu.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari