JPNN.com

Penangkapan Duterte, Tinjauan Tentang Kedaulatan Negara dan Yurisdiksi ICC

Oleh: Prof. Eddy Pratomo S.H., M.A.

Senin, 17 Maret 2025 – 07:03 WIB
Penangkapan Duterte, Tinjauan Tentang Kedaulatan Negara dan Yurisdiksi ICC - JPNN.com
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila/Guru Besar Hukum Internasional UNDIP Prof. Eddy Pratomo S.H., M.A. Foto: source for jpnn

jpnn.com - PADA 11 Maret 2025, otoritas Filipina menangkap Rodrigo Duterte atas dasar permintaan dari Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC).

Duterte adalah mantan Presiden Filipina yang dianggap melakukan kejahatan kemanusiaan karena saat menjabat wali kota Davao City maupun memimpin pemerintahan melakukan pembunuhan besar-besaran tanpa melalui pross hukum hukum (extrajudicial killings) dalam rangka perang melawan narkoba.

BACA JUGA: Waka MPR Hidayat Nur Wahid: Netanyahu Lebih Pantas Ditangkap ICC Dibandingkan Duterte

Setelah ditangkap, Duterte diterbangkan dengan penerbangan carteran ke Den Haag, Belanda. Tokoh yang berkuasa di Filipina selama periode 30 Juni 2016 hingga 30 Juni 2022 itu mulai menjalani persidangan di ICC pada Jumat lalu (14/3/2025).

Dengan alasan perlunya menyelamatkan warga Filipina dari bahaya narkoba, Duterte menggencarkan kampanye anti-narkoba yang menyebabkan ribuan orang dibunuh tanpa melalui proses hukum.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte Ditangkap di Bandara

Para aktivis hak asasi manusia memperkirakan jumlah korban tewas akibat kebijakan Duterte tersebut antara 12.000 hingga 30.000 jiwa.

Untuk pertama kalinya ICC menangkap seorang mantan kepala negara di Asia Tenggara untuk diadili.

BACA JUGA: Wapres Sara Duterte Digugat Pidana oleh Kepolisian Filipina

ICC dibentuk berdasarkan Statuta Roma untuk mengadili para individu yang melakukan  pelanggaran berat atas hukum pidana internasional (gross violation of human rights), seperti kejahatan kemanusiaan, genosida, kejahatan perang dan agresi.

Investigasi ICC yang dimulai pada Maret 2018 mencakup dugaan kejahatan yang dilakukan Duterte sejak 2011 hingga 2019, yang berarti meliputi masa jabatannya sebagai wali kota Davao City maupun sebagian era kepresidenannya.

Surat perintah penangkapan  ICC memerinci peran sentral Duterte dalam melakukan dugaan kejahatan, khususnya kebijakan untuk memberantas narkoba tanpa melalui proses hukum atau extrajudicial killings.

Surat perintah penangkapan itu dikeluarkan karena adanya "dugaan kuat bahwa Duterte telah melakukan kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang perkaranya berada dalam yurisdiksi ICC sehingga perlu dilakukan penangkapan”.

Di lain pihak, Duterte telah lama mempertanyakan yurisdiksi dan legitimasi ICC. Dalam pandangannya, ICC adalah penghalang atas upaya negaranya untuk menjamin keamanan dan ketertiban dari ancaman maupun bahaya narkoba.

Duterte juga secara konsisten memandang ICC mempunyai sikap bias sebagaimana dilakukan oleh negara-negara Barat untuk merusak kedaulatan Filipina.

Setelah lengser dari kursi kepresidenan pada 2022, Duterte merasa yakin bahwa dia akan terus berada di luar jangkauan ICC.

Duterte merasa tak tersentuh karena Presiden Filipina Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr. saat berkampanye di pemilu pernah berjanji bahwa pendahulunya di kursi kepresidenan itu tidak akan tersentuh oleh ICC karena pengadilan tersbut tidak memiliki yurisdiksi terhadap Filipina.

Putri Duterte, Sara Duterte, adalah wakil presiden pendamping Bongbong.

Namun, retaknya hubungan aliansi dinasti Marcos-Duterte membuat peta politik di Filipina berubah.

Pada Januari 2025, Bongbong yang juga putra Presiden ke-10 Filipina Ferdinand E. Marcos Sr. itu mengubah pendiriannya dan menyatakan bahwa dia akan "merespons secara positif" perintah dari ICC tentang penangkapan terhadap Duterte.

Bongbong juga membuka pintu kerja sama dengan Organisasi Kepolisian Kriminal Internasional (Interpol). Pemerintahan Bongbong Marcos Jr. pada akhirnya memobilisasi lebih dari 7.000 personel kepolisian untuk melaksanakan surat perintah dari ICC tersebut.

Argumen yang disodorkan Bongbong berbeda jauh dari janji kampanyenya.

Menurut dia, penangkapan itu harus dilaksanakan karena Filipina sebagai anggota Interpol wajib mematuhi permintaan organisasi kerja sama polisi antarnegara tersebut untuk menyerahkan Duterte kepada ICC.

Duterte pun bisa dipastikan akan membela diri dengan mempermasalahkan yurisdiksi ICC karena Fipilina telah menarik diri dari Statuta Roma pada 2019.

Duterte menganggap pengadilan tersebut tidak dapat memeriksanya berdasarkan prinsip komplementaritas, yakni suatu postulat bahwa ICC hanya bisa menangani suatu perkara ketika lembaga-lembaga penegak hukum di Filipina tidak mau atau tidak mampu (unwilling and unable) menyelidiki dan menuntutnya atas tindakan yang sama.

Dapat dikatakan bahwa penangkapan Duterte merupakan momen penting yang telah lama ditunggu-tunggu demi keadilan bagi ribuan korban dan penyintas 'perang melawan narkoba' di Filipina sewaktu sosok kontroversial itu masih berkuasa.

Dia pernah menyatakan bahwa “pekerjaan saya adalah membunuh” dan ikut mengawasi eksekusi hukuman mati terhadap para korban -termasuk anak-anak- sebagai bagian dari kampanye pembunuhan yang disetujui negara, dilakukan secara luas, dan terorganisir dengan baik.

Oleh karena itu, penangkapan Duterte berdasarkan surat perintah ICC dapat memberikan harapan bagi para korban di Filipina.

Selain itu, penangkapan tersebut juga menjadi pengingat bagi para pemimpin dunia lainnya bahwa terduga pelaku tindak pidana internasional dapat ditangkap dan diadili di mana pun mereka berada.

Penangkapan Duterte adalah momen besar dan penting dalam penegakkan hukum internasional. Pelajaran yang dapat diambil dari kasus Duterte ialah bahwa yurisdiksi ICC bisa diberlakukan terhadap mantan kepala negara dan tidak berlaku terhadap kepala negara yang masih aktif.

Penangkapan tersebut dilakukan karena ICC menilai Pemerintah Filipina tidak mempunyai niat atau tidak mampu mengadili perkara kejahatan berat terhadap kemanusiaan dalam pengadilan nasionalnya, yaitu belum ada upaya exhaustive dalam di dalam negerinya sehingga ICC menerapkan yurisdiksinya terhadap Duterte sbagai mantan kepala negara.

Ada pertanyaan terkait aspek hukum: bagaimana ICC bisa menjangkau Duterte pada saat yang bersangkutan tidak menjabat lagi sebagai kepala negara dan Filipina sudah tidak menjadi pihak pada Statuta Roma?

Dalam kasus ini, jelas bahwa ICC menerapkan prinsip retroaktif dengan memberlakukan Statuta Roma pada periode tahun 2011-2019 atau selama Filipina masih menjadi pihak pada statuta tersebut. Prinsip tersebut merupakan teori hukum internasional baru yang mengandalkan asas retroaktif.

Filipina telah menjadi anggota ICC sejak 1 November 2011, tetapi kemudian menarik diri dari Statuta Roma pada 2018 atau saat Duterte berkuasa. Keputusan  itu mulai berlaku pada 17 Maret 2019.

Meskipun demikian, ICC bersikukuh dan berpandangan bahwa keberadaannya memiliki yurisdiksi terhadap Filipina saat negara itu masih menjadi negara pihak dari Statuta Roma pada periode November 2011 hingga Maret 2019.

Kasus yang didakwakan kepada Duterte adalah pun pada periode pada saat Filipina masih menjadi negara pihak Statuta Roma.

Sesuai prinsip universal dalam hukum, Duterte tetap perlu mendapatkan hak untuk membela diri dan diproses sesuai dengan due process of law. Dia juga berhak didampingi penasihat hukum.

Namun, terdapat hal yang lebih penting lagi, bahkan merupakan tantangan berat bagi ICC, yaitu apakah proses hukum Duterte juga diterapkan secara fair dan adil kepada pemimpin negara lain yang diduga telah melakukan pelanggaran pidana internasional, seperti Perdana Menteri Israel  Benjamin Netanyahu dan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Lantas, apa pelajaran yang bisa dipetik Indonesia dari peradilan terhadap Duterte di ICC?

Sejak awal RI telah mempertimbangkan secara bijak terkait dengan politik hukum untuk tidak meratifikasi Statuta Roma maupun mengakui yurisdiksi ICC karena sistem hukum nasional Indonesia sudah memiliki Pengadilan HAM Ad Hoc guna mengadili kejahatan HAM berat di Indonesia.

Dengan demikian Pemerintah Indonesia telah melaksanakan kewenangan hukum/yurisdiksi nasional, yaitu National Exhaustive Legal Proceeding tersebut. (***)

Oleh: Prof. Eddy Pratomo S.H., M.A.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila/Guru Besar Hukum Internasional UNDIP


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Mesyia Muhammad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler