jpnn.com, JAKARTA - Pernahkah Anda merasa nyeri telinga setelah melakukan kegiatan seperti diving (menyelam) atau hiking (mendaki) gunung? Jangan meremehkan kondisi tersebut.
Dokter umum Maria R. Maharia mengungkapkan terkadang seseorang bisa mengalami penggumpalan darah di gendang telinga akibat kondisi tersebut.
BACA JUGA: Pengin Scuba Diving? Diver Pemula Harus Penuhi Syarat Ini
Dokter Mia, sapaan karibnya, mengungkapkan kondisi itu disebut hemotimpani, artinya terdapat darah di dalam cavum timpani atau di ruang telinga tengah.
Penyebabnya adalah barotrauma yang terjadi saat sedang menyelam.
BACA JUGA: Nusa Penida Jadi Lokasi Red Bull Cliff Diving 2020, Keren Banget
Dokter Mia mengungkapkan seorang pasien pernah mengeluhkan bagian telinga terasa sakit saat menyelam yang mengharuskan melakukan rapid descending (penyelaman dengan penurunan kedalaman yang cepat).
Sang pasien mengeluh tidak bisa melakukan equalisation sejak saat kedalaman 2 meter. Ketika mencapai kedalaman 5 meter, si penyelam tersebut mulai merasakan nyeri telinga.
BACA JUGA: Media Inggris Kupas Diving Spot di Luar Bali, Ini Lokasinya
Dia langsung memberi tahu instruktur selamnya agar bisa kembali ke kapal. Saat di kapal, sang penyelam mengeluh telinganya terasa penuh, tidak nyaman, dan mulai merasakan sensasi. vertigo.
Dokter Mia mengatakan kondisi itu yang disebut sebagai gejala Barotrauma. Menurutnya, Barotrauma terjadi akibat ada perubahan tekanan udara mendadak.
Umumnya disebabkan adanya perubahan ketinggian maupun kedalaman). Gejala yang dirasakan oleh pasien bervariasi mulai dari sensasi tidak nyaman, sensasi telinga penuh, telinga berdenging (tinnitus), nyeri telinga, keluar cairan dari telinga yang sakit, vertigo hingga gangguan keseimbangan.
"Perubahan tekanan udara ini membuat Tuba Eustachian (saluran penghubung telinga tengah dan rongga mulut) tidak bisa membuka sehingga tidak terjadi Equalisation atau penyamaan tekanan di dalam telinga tengah agar sama dengan tekanan di luar," tutur Dokter Mia pada JPNN.com.
Merujuk pada Helmi A. Balfas dalam buku teks komprehensif Ilmu THT-KL, Dokter Mia mengatakan tuba yang tertutup ini membuat tekanan ruang telinga tengah menjadi negative dan membran timpani (gendang telinga) tertarik ke arah ruang telinga tengah.
Tekanan tersebut juga menimbulkan iritasi pada mukosa telinga tengah sehingga terbentuk transudat atau cairan.
Terkadang saat kondisi itu, lanjut dr. Mia, bisa terjadi perdarahan di dalam ruang telinga tengah. Namun, dalam kondisi ekstrem seperti barotrauma, bisa terjadi dalam waktu singkat bahkan kadang terloncati ke fase terjadinya rupture gendang telinga.
"Anda mungkin tidak familiar dengan istilah equalisation, tetapi mungkin pernah mengalami sensasi telinga ‘penuh’ atau pekak saat mendaki gunung, berada dalam pesawat yang akan mendarat atau baru terbang. Sensasi penuh ini disebabkan adanya peningkatan tekanan negative di dalam ruang tengah telinga akibat tuba tertutup. Equalisation berfungsi untuk membuka tuba yang tertutup tadi sehingga udara dari luar bisa masuk kedalam cavum timpani dan menyamakan tekanan di dalamnya," jelas dr. Mia.
Equalisation untuk mencegah barotrauma ini bisa dilakukan dengan berbagai metode.
Dia antaranya menguap, mengunyah permen karet, menelan ludah ( inilah sebabnya sebelum terbang, pramugari akan membagikan permen untuk memicu produksi saliva atau air liur yang akan ditelan saat proses lepas landas), atau meniup hidung dalam kondisi tertutup ( Manuver valsava) atau menelan sambil menutup mulut dan hidung sekaligus ( Manuver toynbee).
Manuver Valsava adalah yang paling sering digunakan saat menyelam dan maneuver ini harus sesering mungkin dilakukan ketika telinga mulai terasa penuh saat mulai descending.
Perlu diingat tekanan udara di permukaan laut adalah 1 atm. Begitu mulai turun sedalam 10m, tekanan udara tersebut akan naik menjadi 2 atm.
Sebagai gambaran, peningkatan tekanan udara sebanyak 1 atm ini mampu mengompresi volume udara dalam kontainer tipis (seperti balon atau selapis tipis gendang telinga) menjadi hanya setengah volume awalnya.
Dokter Mia menjelaskan pada 1944 silam, dr. Teed membuat klasifikasi barotrauma berdasarkan temuan klinis pemeriksaan otoskop pada personel yang mengikuti latihan evakuasi kapal selam yang terpapar tekanan hyperbaric. Dr. Teed mengklasifikasikan menjadi 6 derajat.
1. Grade 0 : bergejala dengan pemeriksaan otoskopi yang normal (gendang telinga normal)
2. Grade 1 : gendang telinga nampak kemerahan dan tertarik ke dalam telinga tengah.
3. Grade 2 : Grade 1 ditambah dengan perdarahan di dalam gendang telinga.
4. Grade 3 : Grade 1 ditambah dengan perdarahan berat di delam gendang telinga.
5. Grade 4 : ruang telinga tengah terisi dengan darah atau transudate dan gendang telinga tampak menonjol keluar.
6. Grade 5 : perdarahan di ruang telinga tengah disertai dengan rupture gendang telinga.
Terapi yang dilakukan untuk menangani kasus barotrauma umumnya bersifat konservatif yakni dengan obat tetes hidung (yang mengandung dekongestan).
Bisa juga menggunakan obat oral ( berupa anti radang, decongestant) bila terjadi peradangan atau jika disertai dengan infeksi perlu ditambahakn antibiotik oral.
Namun, lanjut dr. Mia, bila transudate ataupun darah yang terperangkap hingga beberapa minggu kemudian masih menetap, barulah akan dilakukan prosedur insisi pada gendang telinga untuk membantu proses drainase ( myringotomi).
Pada kasus sang penyelam, tutur Mia, dia mengalami kesulitan untuk melakukan equalization bahkan saat baru mencapai kedalaman 4-5m, tekanan udara belum mencapai 2 atm ketika barotrauma terjadi.
Barotrauma yang diderita si penyelam cukup serius saat itu, masuk kategori Teed 3-4.
Dokter THT yang merawat si penyelam meminta untuk menunda naik pesawat karena berisiko gendang telinganya akan pecah saat pesawat mendarat.
Sang penyelam baru diizinkan mengikuti jadwal terbang seminggu kemudian saat terjadi auto drainase melalui tuba eustachia dan sisanya akan diserap oleh tubuh.
"Apabila si pasien bersikeras untuk pulang keesokan harinya saat sedang mengalami sakit telinga maka, disarankan untuk dilakukan tindakan drainase melalui prosedur myringotomi emergency," tambah dr. Mia.
Meski begitu Dokter Mia mengatakan Anda tidak perlu khawatir dan menjadi paranoid setelah membaca pnejelasan terkait Barotrauma. Dia mengatakan orang-orang tidak perlu takut melakukan scuba diving maupun hiking.
"Scuba diving termasuk salah satu olahraga yang lebih beresiko daripada yang lain. Namun, tentu saja ada persyaratan yang harus dilakukan sebelum penyelaman itu dilakukan. Sama seperti anda memutuskan untuk naik pesawat. Apakah tindakan naik pesawat ini aman ? Jawabannya iya. Apakah beresiko kematian bila pesawatnya jatuh, jawabannya iya tetapi perlu anda ingat, bahwa sebelum terbang tentu pesawat tadi sudah melalui proses pengecekan dan persiapan yang panjang dan matang. Hal yang sama berlaku pada scuba diving," tegas dr. Mia.
Dokter Mia menyarankan ada beberapa hal yang perlu sebelum menyelam:
1. Medical Check Up
Ini adalah hal wajib yang perlu dilakukan sebelum menyelam. Menurut dr Mia, dari pengalamannya saat mengikuti kursus Open Water Diver, instruktur selam memintanya melakukan pemeriksaan kesehatan dan ada check list yang harus dipenuhi. Secara umum, anda diharapkan berada dalam kondisi fit saat menyelam. Ada beberapa kondisi kesehatan tertentu yang akan menyebabkan anda tidak diperbolehkan untuk menyelam seperti misalnya riwayat epilepsi, penyakit radang paru kronis, sinusitis akut, infeksi atau gangguan telinga tengah, gangguan keseimbangan, ISPA, kehamilan.
Beberapa penyakit tertentu seperti Rhinitis Alergi atau vasomotor masih diperbolehkan. Umumnya instruktur selam anda mungkin akan membolehkan selama mendapat surat keterangan dari dokter atau mendapat pengobatan dengan decongestan untuk membantu membuka tuba agar bisa melakukan equalization saat proses menyelam. Namun, sebagai dokter umum, dr Mia tidak merekomendasikan untuk melakukan hal ini.
"Jika Rhinitis alergi anda sedang kambuh atau tidak terkontrol, tidak disarankan untuk menyelam. Salah satu penyebab si penyelam tersebut tidak dapat melakukan equalization padahal baru di kedalaman 4 meter adalah karena dia penderita rhinitis vasomotor. Ini menyebabkan mukosa hidung dan telinganya rawan mengalami kongesti (bengkak) saat terpapar tekanan atau perubahan suhu. Manuver valsava yang dilakukannya tetap tidak bisa membuka tuba dalam kondisi yang demikian," tutur dr. Mia.
2. Menyelam dengan instruktur professional
Pastikan instruktur anda memiliki sertifikat instruktur selam dan mengenal daerah yang akan dikunjungi ( ini sangat penting). Sertifikat selam umumnya dikeluarkan oleh organisasi selam seperti PADI ( USA), POSSI ( Indonesia), ADS (Jepang) dan lainnya. Anda berhak menanyakan ini pada instruktur dan mereka wajib menunjukkannya sebelum mulai. Selain sertifikasi tersebut, anda juga sebaiknya memilih instruktur yang mengenal betul area laut yang akan diselam. Satu area diving saja seperti Pulau Menjangan, anda bisa menjajal 4 spot yang berbeda. Salah satu spot, memiliki karakter arus permukaan laut yang cukup kencang dan bisa menyeret penyelam jauh dari titik penjemputan begitu melakukan ascending. Kondisi seperti ini dapat berkibat fatal jika tidak didampingi dengan instruktur yang terlatih.
3. Pelajari teori dan buku panduan menyelam dengan baik.
Saat anda akan megambil kursus, anda akan diberikan buku manual. Saya menyarankan untuk membacanya hingga selesai sebelum anda mulai menyelam. Ada salah satu tips yang tertulis pada buku itu yang menyarankan untuk sering melakukan equalization sebelum telinga anda terasa tidak nyaman.
Satu hal lain yang tercantum dalam buku tersebut adalah untuk selalu memberitahukan instruktur selam kapan pun anda merasa tidak bisa melakukan equalisa. Inition adalah kondisi go and no go, hentikan scuba diving saat itu dan lakukan protokol ascending. Instruktur atau rekan menyelam anda tidak akan mengetahui kondisi anda bila tidak memberitahukanya pada mereka.
4. Rencanakan kegiatan menyelam bukan pada akhir liburan anda
Saat menyelam, selalu ada resiko terjadi barotrauma ataupun DCS ( Decompression Syndrome). Stephen A. Pulley dalam artikelnya di Emedicine.medscpae.com, menyatakan dua hal ini bisa menimbulkan gejala yang bisa langsung dikenali atau dirasakan oleh penyelam (rapid onset), atau baru muncul belakangan (Delayed Onset).
Bayangkan jika keluhan tersebut muncul saat berada di ketinggian 30.000 kaki dan tidak ada petugas kesehatan dalam pesawat anda.
Jika anda memiliki waktu paling tidak seminggu sebelum liburan anda berakhir, maka anda masih punya waktu untuk melakukan konsultasi dengan dokter jika keluhan anda muncul belakangan, dan anda juga memiliki waktu yang cukup untuk mengatur ulang jadwal anda seandainya terjadi hal yang tidak diinginkan.
"Di luar hal-hal tadi, saran saya sebagai dokter umum dan pemegang sertifikat Open Water Diver, jika setelah melakukan penyelaman anda merasa ada yang tidak nyaman terkait dengan kesehatan anda, segera konsultasikan ke dokter umum atau spesialis terkait. Jangan ditunda dan jangan pernah berpikiran bahwa keluhan tersebut akan sembuh sendiri," pungkas dr. Mia. (flo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Natalia