Penderita Gangguan Jiwa Terus Naik

Sabtu, 11 Oktober 2014 – 07:46 WIB

jpnn.com - Setiap 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Kesehatan jiwa itu penting. Kesehatan jiwa adalah urusan semua orang. Orang yang sehat jiwanya adalah orang yang bahagia. Namun, dalam beberapa tahun belakangan, tren penderita penyakit kesehatan jiwa terus merangkak naik.

*****

BACA JUGA: 5 Hal yang Perlu Dilakukan Biar Orgasme Optimal

DALAM beberapa pekan terakhir, media kerap memberitakan sejumlah tindak kriminalitas sadis. Di antaranya, seorang pelajar SMA tega memerkosa dan membunuh dua gadis SMP yang masih di bawah umur. Kemudian, ada juga seorang cucu yang membunuh kakeknya. Kasus itu adalah contoh penyakit yang berkaitan dengan kesehatan jiwa.

Jenis gangguan kesehatan jiwa tersebut beragam. Mulai yang ringan hingga yang berat. Yang jelas, berdasar data Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur Surabaya, dari tahun ke tahun jumlah pasien rawat inap penderita kesehatan jiwa terus naik. Pada 2011 ada 2.460 pasien. Setahun kemudian jumlahnya bertambah menjadi 2.582 pasien. Nah, tahun ini, hingga semester I (Januari–Juni), sudah ada 1.350 pasien.

BACA JUGA: Mengenal dan Memahami Anak Indigo

”Memang makin bertambah setiap hari. Penyakit kejiwaan bukan berarti gila. Sekarang, kalau sudah merasa stres, jangan ragu memeriksakan diri. Jangan sampai terlambat,” tutur Direktur RSJ Menur AdiWirachjanto kepada Jawa Pos Jumat (10/10).

Peningkatan itu terlihat dari tingkat hunian ruang rawat inap di RSJ Menur yang tinggi. Dia menyebutkan, dari 251 tempat tidur, ternyata 230 di antaranya selalu penuh. Bahkan, ruang VVIP yang berjumlah 32 tempat tidur juga rata-rata terisi semua.

BACA JUGA: Sembarang Aborsi Bikin Rahim Rusak

Kategori penderita kesehatan jiwa pun kian luas. Mereka berasal dari beragam tingkat sosial. Mulai miliarder hingga miskin papa. Parahnya, ada kecenderungan penyakit kesehatan jiwa belakangan lebih banyak diderita kelompok usia produktif, yakni 18–30 tahun. ”Sekarang ini memang kecenderungannya yang lebih muda. Kebanyakan depresi dan stres,” kata dia.

Menurut Adi, 60 persen pasien yang dirawat di RSJ Menur berasal dari Surabaya. Sedangkan sisanya berasal dari berbagai kabupaten/kota. Di antaranya Madura, Lamongan, Tuban, Gresik, dan Sidoarjo. Maklum, RSJ Menur merupakan rumah sakit tipe A yang menjadi rujukan se-Jatim.

Banyak faktor penyebab tingginya tingkat penderita kesehatan jiwa. Mulai putus dari pacar, gagal masuk ke sekolah impian, kesulitan memenuhi tuntutan hidup, hingga kehilangan orang yang dicintai. Bahkan, lanjut Adi, ada juga yang depresi karena di-bully teman-temannya.

Setiap pasien yang masuk RSJ Menur akan didiagnosis tingkat keparahannya. Jika ringan, penderita akan dipertemukan dengan psikolog. Kalau parah, baru pasien akan ditangani psikiater. Para pasien juga digolongkan dalam tiga fase perawatan. Pertama, fase akut. Pada fase ini pasien harus diberi obat dan disuntik. Jika sudah parah harus diikat. Kemudian fase tenang dan terakhir fase rehab.

Sebenarnya, semua penyakit kejiwaan bisa disembuhkan dengan cara deteksi dini. Hanya gangguan jiwa terberat yang memerlukan perawatan intensif. Kata Adi, ada empat ciri seorang penderita gangguan mental akut yang harus dirawat. Antara lain, pasien sudah tidak bisa mengendalikan diri. Misalnya, dia suka melemparkan barang dan berteriak-teriak. Kemudian, pasien bertindak yang membahayakan lingkungan dan orang lain. Termasuk membahayakan diri sendiri seperti percobaan bunuh diri.

Menurut Adi, penyakit jiwa paling akut adalah skizofrenia. Jika dalam tiga bulan tidak mendapat penanganan, penderita skizofrenia bisa lupa segalanya. Padahal, berdasar data, gangguan jiwa tertinggi di IGD dan rawat inap adalah penderita skizofrenia. Para penderitanya bisa bertindak macam-macam.

Adi mencontohkan pasien skizofrenia hebefrenik (menderita paham kebesaran). Yakni, yang bersangkutan merasa sebagai raja atau artis. Ada juga skizofrenia paranoid. Penderitanya selalu merasa curiga kepada apa pun dan siapa pun. Kemudian, skizofrenia tak terperinci yang memiliki bermacam gejala seperti berteriak-teriak dan melempar-lempar barang.

Penyembuhan gangguan kesehatan jiwa, lanjut Adi, sebenarnya mudah. Caranya: meningkatkan peran keluarga dan teman. Pihaknya berharap para penderita penyakit kesehatan jiwa itu tidak diolok-olok. Sebab, stigmatisasi buruk pada mereka berpengaruh besar pada proses penyembuhan. Pendekatan kepada pasien justru membantu kesembuhan. ”Kuncinya kepedulian orang terdekat. Tingkatkan spiritualitas juga,” ungkapnya.

Lebih lanjut Adi memaparkan, selama ini pasien penderita penyakit kejiwaan baru dibawa ke RSJ setelah lebih dari satu tahun. Karena itu, biasanya proses penanganan lebih sulit. ”Rata-rata yang masuk sini sudah terlambat penanganannya.”

Dikatakan, sebenarnya setiap puskesmas di Surabaya bisa melakukan penanganan dini pada penderita gangguan jiwa. Namun, jika menderita gangguan akut, pasien bisa langsung dibawa ke RSJ Menur.

Adi menambahkan, saat ini juga terdata 1.100 orang yang dipasung di Jatim karena gangguan jiwa. Sebanyak 150 berada dalam pantauan RSJ Menur dan 75 di RSJ Lawang Malang. Tahun ini seluruh korban pemasungan akan diobati dengan cara memaksimalkan fungsi kamar perawatan di RSJ di Jatim. Baik di Menur maupun di Lawang. Dia menggambarkan, di RSJ Lawang yang memiliki 700 tempat tidur, sekitar 10 persennya akan dikhususkan untuk korban pemasungan. Di RSJ Menur juga 10 persen dari 251 tempat tidur. Dengan demikian, total 95 korban pasung yang bisa dirawat dalam sebulan. ”Dalam satu tahun, mereka itu bisa mendapat perawatan,” ucapnya.

Sementara itu, makin banyaknya pasien di RSJ Menur sejauh ini belum diimbangi ketersediaan anggaran yang cukup. Adi mengungkapkan, saat ini setiap pasien di RSJ Menur mendapat jatah perawatan Rp 5,4 juta per bulan. Jumlah tersebut belum ideal. Dicontohkan, untuk makan saja, setiap pasien menghabiskan Rp 4,5 juta per bulan. Itu berarti masih ada sisa Rp 900 ribu. Jumlah itulah yang dialokasikan untuk obat. Padahal, obat penyakit jiwa generasi baru cukup mahal.

Sebut saja, sekali injeksi bisa menghabiskan biaya Rp 350 ribu. Adapun satu tablet senilai Rp 55 ribu. Padahal, untuk kesembuhan pasien, dibutuhkan pengobatan yang lebih bagus. ”Tahun depan malah alokasi anggarannya turun (jadi) Rp 5,2 juta. Karena itu, kami tentu harus pandai-pandai memilihkan obat,” kata Adi.

Berdasar Data IRJ (Instalasi Rawat Jalan) Jiwa RSUD dr Soetomo, penderita penyakit kejiwaan cukup besar. Trennya juga cenderung naik. Dalam sebulan rata-rata jumlah pasien berkisar 400–450 orang. Pada Mei lalu, misalnya, tercatat ada 430 orang. Berdasar data, penderita gangguan jiwa itu mayoritas kaum laki-laki.

”Yang datang itu rata-rata pasien skizofrenia atau gangguan mental berat,” kata Kepala Poli Jiwa RSUD dr Soetomo dr I Gusti Ngurah Gunadi SpKJ K kemarin.

Menurut Gunadi, sejauh ini masih kuat anggapan atau pemahaman bahwa gangguan jiwa adalah aib. Karena itu, sering kali masyarakat enggan membawa pasien ke dokter. Padahal, kalau penanganannya dilakukan sejak dini, potensi penyembuhannya sangat besar. ”Nah, bertepatan dengan Hari Kesehatan Mental Sedunia, Surabaya akan mengusung tema Living with Schizophrenia yang akan dilaksanakan pada 12 Oktober,” ujarnya. (nir/bir/c9/hud)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Game Komputer Obati Depresi Lansia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler