jpnn.com, JAKARTA - Pendiri Bumi Global Karbon (BGK) Foundation Achmad Deni Daruri mengatakan presiden terpilih pada Pilpres 2024 akan menghadapi tantangan berat.
Menurut Deni, tantangannya adalah menggenjot total factor productivity (TFP) demi membuka masuknya investasi sebesar-besarnya.
BACA JUGA: Ketua Banggar DPR Sebut Tak Ada Swasembada Beras di Masa Presiden Jokowi, Nih Datanya
Deni Daruri menjelaskan strategi investasi Indonesia ke depan adalah meningkatkan TFP yang mencerminkan tingkat efisiensi produksi suatu negara atau sektor menggunakan input-input produksinya seperti modal dan tenaga kerja.
“Saat ini, TFP Indonesia mengalami penurunan sejak krisis ekonomi 1997-1998. Dan, masih berada di bawah rata-rata regional. Ini menjadi tantangan bagi pemerintah baru untuk menggenjotnya,” kata Deni, Selasa (22/1/2024).
BACA JUGA: Deni Daruri Sebut Investor EBT Bakal Antre Masuk Indonesia, Begini Alasannya
Menurut data Bank Dunia, TFP Indonesia hanya berkontribusi sekitar 0,3 persen terhadap pertumbuhan PDB per kapita sepanjang 2012-2017. Jauh di bawah rata-rata Asia Timur dan Pasifik, sebesar 1,2 persen.
Untuk meningkatkan TFP Indonesia, kata dia, diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, memperbaiki iklim investasi dan bisnis, mempercepat inovasi dan adopsi teknologi, serta memperkuat integrasi ekonomi regional dan global.
BACA JUGA: China Gencar Mengimpor Batu Bara Asal Indonesia, Deni Daruri: Waspada
"Pertama, meningkatkan akses dan kualitas pendidikan, kesehatan, dan pelatihan bagi tenaga kerja, terutama di sektor-sektor informal dan perdesaan," kata dia.
Kedua, lanjutnya, mendorong investasi swasta, terutama di sektor-sektor padat karya dan berorientasi ekspor, dengan menyederhanakan perizinan, memberantas korupsi, dan meningkatkan infrastruktur.
"Ketiga, mendorong inovasi dan adopsi teknologi, terutama di sektor-sektor strategis seperti industri manufaktur, pertanian, dan jasa, dengan memberikan insentif fiskal, perlindungan kekayaan intelektual, dan dukungan penelitian dan pengembangan," paparnya.
Keempat, kata Deny, memperkuat integrasi ekonomi regional dan global, terutama dengan negara-negara ASEAN, Cina, India, dan Jepang, dengan menurunkan tarif dan hambatan non-tarif.
Selain itu, meningkatkan konektivitas fisik dan digital serta memperluas partisipasi dalam perjanjian perdagangan bebas.
Saat pandemi Covid-19 pada 2020, kata dia, memberikan dampak negatif terhadap TFP Indonesia.
Menurut Bank Dunia, TFP Indonesia berkontribusi minus 0,4 persen terhadap pertumbuhan PDB per kapita.
Hal ini disebabkan turunnya aktivitas ekonomi, gangguan rantai pasokan, penurunan investasi serta peningkatan ketidakpastian.
Selain itu, TFP Indonesia juga masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangganya di Asia.
Menurut data FRED (Federal Reserve Bank of St. Louis), indeks TFP Indonesia pada 2019 adalah 1.009 (dengan basis tahun 2017 = 1). Sedangkan indeks TFP Malaysia 1.082, Thailand 1.071, Vietnam 1.066, Filipina 1.051, dan Singapura 1.049.
Selain itu, menurut Asian Productivity Organization (APO), pertumbuhan TFP Indonesia periode 1980-2000 adalah minus 0.8 persen. Terendah di Asia.
"Baru naik menjadi 0.6 persen pada 2000-2010. Artinya, masih banyak ruang untuk meningkatkan efisiensi produksi di Indonesia agar bisa bersaing dengan negara lain di kawasan," kata Deni.
Salah satu faktor yang bisa memengaruhi TFP, lanjut Deni, adalah kualitas investasi. Yakni, seberapa besar investasi mampu mengerek kapasitas dan produktivitas produksi.
Kualitas investasi dapat dipengaruhi banyak hal, mulai jenis, sumber, sektor, dan lokasi investasi.
“Investasi yang berasal dari modal asing, terutama dalam bentuk foreign direct investment (FDI) dapat meningkatkan TFP dengan cara membawa teknologi, manajemen, dan pengetahuan baru ke dalam negeri," pungkas Deni.(fri/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Friederich Batari