Pendukung kedua kubu calon presiden Indonesia, Joko Widodo dan Prabowo Subianto sama-sama "memainkan" narasi warisan rezim Orde Baru, seperti sentimen anti Komunis, anti China, anti Islamis serta anti separatis. Media paling efektif yang dipergunakan yaitu jejaring sosil terenkripsi WhatsApp (WA).
Demikian kesimpulan yang dapat ditarik dari diskusi Indonesia Forum pada University of Melbourne yang berlangsung pada Rabu (19/6/2019) malam, seperti dilaporkan wartawan ABC Farid M. Ibrahim.
BACA JUGA: Australia, Inggris dan Jepang Juga Menerapkan Sistem Zonasi Sekolah
Panelis diskusi yaitu dua dosen Universitas Indonesia, Dr Inaya Rakhmani dan Imam Ardhianto yang sedang mengambil program PhD pada Albert Ludwig Universitat de Freiburg Jerman.
Keduanya sedang merampungkan riset dengan topik The New Order Spectre: Disinformation in Indonesia's Democracy bersama seorang peneliti lainnya di Jakarta. Diskusi digelar sebagai rangkaian dari penelitian tersebut.
BACA JUGA: 70 Juta Orang di Dunia Dipaksa Tinggalkan Rumahnya Karena Konflik dan Perang
Menurut Dr Inaya, dari data yang mereka teliti yang berasal dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menunjukkan adanya tema-tema disinfomasi yang berulang.
"Kami juga heran sebagai generasi yang lahir di jaman Orba, tema tersebut terngiang kembali, karena dari kecil kita ditakut-takuti dengan tema yang mirip. Salah satunya Komunisme, anti China, gerakan separatis dan khilafah," jelasnya.
BACA JUGA: Universitas Singapura Peringkat 1 Asia, Universitas di Indonesia Peringkat 300-an Dunia
Polisi ChinaImam menambahkan, pada 22 Mei 2019 malam saat terjadi unjukrasa di depan Bawaslu, mulai ramai beredar di linimasa media sosial disinformasi yang menggambarkan adanya polisi China di antara aparat yang menangani unjukrasa.
"Sentimen anti China ini terus membesar. Dan di saat bersamaan juga, beredar video masjid di Tanah Abang yang menunjukkan tentang polisi yang merangsek masuk ke dalam," kata Imam.
"Jadi sentimen pertama soal polisi China ada di dalam barisan pengawalan demonstrasi kemudian muncul video tentang polisi yang merangsek masjid dan diamplifikasi oleh video Amin Rais yang mengomentari video itu dimana Amin Rais menyebutkan adanya polisi berbau PKI dan ugal-ugalan menembaki umat Islam," paparnya. Photo: Foto yang menyebar menjadi disinformasi mengenai adanya polisi Tiongkok di antara pasukan Brimob yang mengawal unjukrasa pada 22 Mei 2019 di Jakarta. (Istimewa)
Dikatakan, jika warga Indonesia membayangkan Komunis itu sebagai ancaman dari dalam, kini Komunis selalu tertempel sebagai narasi China sebagai kekuatan geopolitik baru.
Sehingga tema pengaruh China dengan datangnya imigran pekerja, katanya, banyak disebarkan.
"Selain data Mafindo kami juga menemukan tweet misalnya dari Yusril Izha Mahendera yang sekarang jadi tim TKN untuk Jokowi juga sempat menyebutkan ada 10 juta migran China yang masuk ke Indonesia," kata Imam.
Selain itu, dia menyebut munculnya tema kedatangan militer China serta masuknya narkoba yang diselundupkan dalam material untuk pembangunan infrastruktur Jokowi.
Wacana yang mereka sebut hantu Orba ini, menurut panelis, bukan hanya menyerang kubu petahana Jokowi.
"Ini sebagai respon balik dari kubu para supporter. Kita juga menemukan gambar atau meme yang menyebutkan bahwa Prabowo yang sebenarnya China Kristen," ujar Imam.
Ditambahkan, menarik melihat bagaimana isu anti China yang bercampur dengan Komunisme ini bekerja di kubu kedua kandidat.Kemunculan khilafah
Serangan ke kubu Prabowo banyak berkisar pada narasi ketakutan terhadap kemunculan khilafah.
"Di era Orba narasi ketakutan akan ekstrim kanan memang ada tapi itu dikaitkan dengan DI/TII," katanya.
"Tapi sekarang semua berubah, peta politik Islamnya juga berubah sehingga yang muncul dalam melihat Prabowo Sandi dan kekuatan politik yang ada di belakangnya adalah, sebagai bentuk disinformasi, ada ISIS dan HTI dan bagaimana mereka menggunakan PKS dan Prabowo-Sandi untuk mengubah ideologi negara," ujar Imam. Photo: Salah satu serangan disinformasi yang dialamatkan ke kubu capres Prabowo Subianto banyak beredar secara online menjelang Pilpres 2019. (Istimewa.)
Dikatakan, hal ini mengaburkan seakan-akan kubu Prabowo mewakili kekuatan transnasional yang menginginkan Pan Islamisme atau khilafah, suatu konsepsi yang juga mirip dengan sentimen anti China, yaitu konsepsi adanya ancaman asing.
Padahal, katanya, apa yang ada dalam kubu Prabowo demikian kompleks dari segi ideologi, juga orientasi politiknya.
"Kesimpulan kita bahwa kedua kubu sebenarnya sama-sama ingin merespon tuduhan mengenai pengaruh asing dan itu bisa kita lihat sebagai kemunculan narasi yang berkenaan dengan loyalitas terhadap Pancasila dan bentuk NKRI," kata Imam lagi.
Inaya menjelaskan, dalam riset mereka juga mewawancarai pelaku industri kampanye politik yang mengatakan bahwa kampanye politik paling efektif direkayasa, dimobilisasi, dibangun sentimennya melalui plafrom Facebook, Instagram, Twitter dan WA.
"Hal ini dibangun sejak demokrasi dan desentralisasi mulai berlaku di Indonesia. Sebab, kapital-kapital yang digunakan untuk mobilisasi pendukung setiap kandidat itu mulai turun ke level propinsi dan kabupaten di setiap momen pilkada," jelasnya.
Dijelaskan, ada perusahaan konsultan politik, lembaga polling, digital marketing agency yang sekaligus memiliki sayap digital.
"Mereka memiliki data analytics, dianalisis lalu diover ke digital marketing, dimobilisasi sentimennya, dimonitoring sehari-hari, dicari kata-kata kunci mana yang menjadi viral lebih efektif, dan kata-kata itulah yang muncul seperti Komunisme, Cina, Khilafah, Ummah, Islam diserang, kepentingan asing, dsb," papar Inaya.
Panelis menduga disinformasi ini efektif karena materi yang disebarkan memang tidak jelas antara fakta dengan fiksi sehingga tidak penting benar atau tidaknya berita tersebut. "Yang penting dekat di hati," katanya.
Selain itu, kata Inaya, disinformasi narasi Orba ini juga efektif karena tema itu diajarkan melalui struktur sosial yang bersifat indoktrinasi.
Struktur sosial dimaksud meliputi kurikulum nasional, sekolah negeri, institusi agama dan media yang terpusat di bawah pemerintah sehingga membentuk semacam "hidden curriculum" yang melekat dalam kehidupan sehari-hari.
"Mengapa hidden curriculum berhasil sekarang meskipun telah melewati proses demokratisasi, karena narasi yang menempel di kepala itu kemudian masuk ke mekanisme pasar yaitu industri politik, dan ketika hal itu bisa menghasilkan uang, narasi tersebut hidup lagi di ruang demokratis," paparnya.
"Menurut kami itulah yang terjadi sekarang," tambah Inaya Rakhmani.
Ikuti berita lainnya dari ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Solo Jadi Pusat Perdagangan Daging Anjing, 13 Ribu Anjing Dibantai Setiap Bulan