Dari Pemilihan Presiden Indonesia tahun 2019, terlihat bahwa saat ini ada sekitar 10 lembaga survei yang sejak 2004 memulai tradiri merilis hasil hitung cepat yang terpercaya. Namun dalam kontestasi politik yang baru terjadi, mereka umumnya mendukung petahana.

Demikian disampaikan peneliti politik Indonesia Dr Dirk Tomsa dari La Trobe University dalam seminar bertajuk "Indonesia's polling industry after the 2019 election", yang digelar Monash Herb Feith Indonesian Engagement Centre dan Monash University Library di Melbourne, Kamis (8/8/2019).

BACA JUGA: Pakistan Usir Dubes India dan Menuduh India Lakukan Pembasmian Etnis

"Survei mereka sebelum pemilu, paling tidak secara akademis, bisa dipercaya karena hasilnya tidak jauh berbeda dengan hasil resmi KPU," kata Dr Tomsa.

Namun, dalam konteks politik Indonesia, kata Dr Tomsa, tidak ada yang netral, dan ini merupakan salah satu isu yang harus dijawab oleh industri survei politik.

BACA JUGA: Apakah Lansia yang Bermain Dengan Anak-anak Bisa Lebih Sehat dan Gembira?

"Meskipun sebagai orang luar saya percaya hasil survei mereka, tapi sangat jelas bahwa kebanyakan dari lembaga survei yang kredibel itu, dalam Pilpres kali ini dan juga Pilpres sebelumnya, mereka tidaklah netral," ujarnya.

"Mereka hampir secara eksklusif berada di belakang Jokowi," kata Dr Tomsa, yang bidang kajiannya termasuk pemilu dan partai politik di Indonesia.

BACA JUGA: Bayar Makanan Menggunakan HP di Drive Through Australia Bisa Kena Tilang

"Jadi jika Anda seorang pendukung Prabowo, dan Prabowo selalu mengatakan bahwa survei-survei ini didesain untuk mengalahkan dia, lalu Anda membaca postingan Twitter Yunarto Wijaya untuk memilih Jokowi karena Prabowo jelek, maka dengan mudah Anda percaya survei-survei ini dibuat untuk mengalahkan Prabowo," katanya.

Yunarto yang dimaksud Dr Tomsa adalah salah seorang praktisi survei politik dari Charta Politika.

Lembaga survei lainnya yang menjadi sorotan Dr Tomsa dalam Pilpres 2019 ini yaitu Indikator, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Saiful Mujani Research Center (SMRC), Poltracking, Lingkaran Survei Indonesia, Indo Barometer, Cyrus Network, Populi Center dan Konsep Indonesia. Kesemuanya tergabung dalam Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi).

Selain itu, juga lembaga survei yang tergabung dalam Aropi yaitu LSI Denny JA dan Alvara Research Center. Photo: Dosen dan peneliti Australia Dr Dirk Tomsa menilai pelaku industri survei politik di Indonesia perlu meningkatkan transparansi mengenai sumber pendanaan mereka sehingga publik dapat mengetahui mereka bekerja untuk kepentingan siapa. (ABC News: Farid M. Ibrahim)

Mereka yang bekerja di bidang industri survei politik, kata Dirk Tomsa, sebaiknya menanggalkan pandangan politik pribadinya dari ruang publik seperti media sosial, sehingga akan turut membantu menurunkan tensi ketegangan dalam kontes politik.

Menurut dia, dua pilpres terakhir, bukan sekadar kontes antara dua kandidat di mata para lembaga survei.

"Mereka melihatnya sebagai pertaruhan masa depan Indonesia dimana Prabowo merupakan kandidat yang polarizing," jelas Dr Tomsa yang menulis buku Politics and Democratization in Indonesia: Golkar in the post-Suharto era.

"Mungkin saja dalam konstalasi berbeda di tahun 2014, afiliasi politiknya tidak akan sekuat dan seemosional di Pilpres 2019, sehingga lembaga survei juga dapat menarik diri dari sikap pemihakan mereka," paparnya.

"Yang menarik dalam hasil Pilpres 2019 kita tidak lagi melihat hasil survei yang tidak jelas di layar kaca seperti terjadi di 2014, dan Prabowo mengatakan hasil dari tim internalnya menyebutkan dialah sebagai pemenang."

Dari dua asosiasi lembaga survei, Persepi dan Aropi, mereka tidak selalu sependapat dalam hal etika dan transparansi.

"Langkah berikutnya bagi lembaga-lembaga survei di Indonesia adalah meningkatkan transparansi dari mana mereka mendapatkan pendanaan dalam setiap survei, sehingga publik mengetahui mereka ini bekerja untuk kepentingan siapa," katanya.

Di bagian lain seminar ini yang dipandu Prof Ariel Heryanto, Dr Tomsa menyebutkan sejak Saiful Mujani memulai industri ini di tahun 2002 dan secara kredibel memprediksi SBY sebagai pemenang Pilpres 2004, maka perkembangannya sudah demikian maju.

"Kemungkinan sudah ada ratusan lembaga survei di seluruh Indonesia saat ini, tapi yang secara nasional memiliki reputasi hanya sekitar 10 lembaga survei," jelasnya.

Dia menyebut Litbang Kompas sebagai suatu anomali, karena merupakan satu-satunya penyelenggara survei politik yang merupakan bagian dari organisasi media.

Menurut Dr Tomsa, salah satu dampak negatif maraknya industri survei politik yaitu turut berkontribusi pada semakin mahalnya ongkos politik di Indonesia, karena para kandidat akan dikenakan biaya yang tidak sedikit oleh lembaga survei.

Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Wawancara Khusus ABC Dengan Dua Pilot Perempuan Pertama Asal Papua

Berita Terkait