Penelitian tentang Rokok Elektrik Perlu Dikaji Lagi

Senin, 30 Maret 2020 – 19:48 WIB
Ilustrasi. Rokok elektrik/vape. Foto Drake

jpnn.com - Pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Padjadjaran, Ardini Raksanagara mempertanyakan hasil penelitian yang menyebut rokok elektrik menjadi pintu masuk menuju orang untuk merokok.

Penelitian tentang hal itu sempat dikeluarkan Stanton Glantz dan Benjamin Chaffee dari University of California San Francisco serta Shannon Lea Watkins dari University of Iowa yang diterbitkan di jurnal Pediatrics tahun 2018.

BACA JUGA: Tagar Rokok Elektrik Bukan Penjahat Sempat Viral

Menurut Ardini, metode penelitian yang digunakan oleh para peneliti tersebut tidak berdasarkan pada fakta.

Dia mengatakan penelitian yang menyimpulkan bahwa rokok elektrik dianggap sebagai pintu masuk bagi perokok pemula perlu diteliti lebih lanjut, bahkan dibuktikan kebenarannya.

BACA JUGA: Rokok Elektrik Dinilai Kurang Berbahaya Ketimbang Rokok Biasa

Hasil penelitian tersebut dinilai bisa meresahkan publik, terutama perokok dewasa, karena tidak sesuai dengan tujuan hadirnya produk tembakau alternatif yang berperan mengurangi risiko dari dampak negatif rokok.

“Saat ini, terdapat beberapa hasil penelitian yang justru menjustifikasi bahwa rokok elektrik memiliki bahaya yang sama dengan rokok dan menimbulkan dampak negatif. Namun, yang disayangkan adalah pada penelitian-penelitian tersebut terdapat beberapa kekeliruan dari metode-metode yang digunakan. Oleh karena itu semua pihak yang terlibat harus cermat dalam melihat hal ini agar tidak terjadi kesalahpahaman,” kata Ardini.

Menurut Ardini, penelitian yang dilakukan Stanton Glantz mencoba mengaitkan antara perokok pemula yang bereksperimen dengan mencoba rokok elektrik dengan kemungkinan untuk menjadi perokok tetap.

Namun, ada faktor yang tidak dipertimbangkan oleh penelitian tersebut, yakni sebagian besar remaja yang menjadi objek penelitian, sebelumnya sudah merokok, sehingga remaja tersebut memiliki potensi untuk melanjutkan kebiasaan merokok dengan atau tanpa adanya penggunaan rokok elektrik.

Sebelumnya, mantan pejabat kesehatan masyarakat Inggris, Clive Bates, juga mengatakan penelitian yang dilakukan Stanton Glantz mengesampingkan faktor lain yang bisa memengaruhi orang untuk menjadi perokok. Faktor-faktor tersebut seperti latar belakang keluarga, kesehatan mental, dan pengendalian diri.

“Para peneliti (Stanton Glantz dan rekannya) telah memperketat variabel untuk mengarahkan agar rokok elektrik menjadi alasan untuk merokok,” kata Bates.

Belum lama ini Universitas Auckland Selandia Baru juga melakukan penelitian terhadap 30 ribu siswa kelas 10. Hasilnya, 40 persen siswa menyatakan pernah mencoba rokok elektrik.

Akan tetapi, hanya sekitar 3 persen saja yang menggunakannya secara rutin. Hal ini mematahkan penelitian yang dilakukan oleh Stanton Glantz dan rekan penelitinya.

“Beberapa penelitian terbaru telah membuktikan bahwa produk tembakau alternatif memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan rokok. Hasilnya berbeda dengan penelitian yang menyatakan bahwa produk tembakau alternatif memiliki bahaya yang sama dengan rokok dan menimbulkan dampak negatif,” ujar Ardini.

Kehadiran produk tembakau alternatif, yakni rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan, dinilai memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok berdasarkan penelitian di berbagai belahan dunia.

Oleh karena itu, penyampaian informasi yang tidak akurat justru akan meresahkan dan membuat persepsi atas produk ini melenceng dari tujuannya.

Agar tidak menjadi debat yang berkepanjangan, Ardini menyarankan semua pihak yang terlibat, khususnya pemerintah dan lembaga kesehatan dapat melakukan penelitian dengan menggunakan metode yang disepakati bersama.

“Jika langkah ini terealisasi tentu hasilnya akan lebih diterima oleh semua pihak dan dapat dianggap sebagai ‘angin segar’ untuk perjuangan bersama dalam meningkatkan kesehatan masyarakat dan menurunkan prevalensi perokok,” pungkasnya.

Hal ini, kata dia, bukan kali pertama penelitian yang dilakukan oleh Stanton Glantz diragukan kredibilitasnya.

Pada Februari 2020, jurnal American Heart Association menarik penelitian Stanton Glantz dan Dharma Bhatta dari University of California San Francisco yang menyimpulkan bahwa kebiasaan merokok dan menggunakan rokok elektrik memiliki risiko bahaya yang sama.

Dalam pernyataannya, jurnal American Heart Association mengakui adanya penggunaan data yang menyesatkan oleh kedua peneliti tersebut. (flo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler