jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat menyoroti belum maksimalnya penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2024 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Hal itu disampaikan Lestari Moerdijat saat memberikan sambutan dalam diskusi daring bertema 'Apa Masalah Krusial dalam Penerapan UU PKDRT DAN UU TPKS?' yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (31/5).
BACA JUGA: Kemnaker Segera Terbitkan Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja
Menurut Lestari, sejatinya kedua undang-undang tersebut merupakan dasar hukum perlindungan bagi korban kekerasan di Indonesia.
"Belum bisa diterapkannya secara maksimal UU TPKS dan UU PKDRT hingga saat ini, apakah merupakan pembiaran atau ada konstruksi berpikir yang salah dipahami?" ujar Rerie, sapaan akrab Lestari Moerdijat dalam forum tersebut.
BACA JUGA: Kasus Rebecca Klopper, 5 Jenis Kekerasan saat Pacaran Ini Perlu Diketahui Remaja Putri
Legislator dari Dapil Jawa Tengah II mengatakan pemahaman menyeluruh terkait substansi kedua undang-undang tersebut menjadi faktor penentu untuk merealisasikan aspek perlindungan yang diamanatkannya.
Rerie menilai tanpa perubahan paradigma berpikir dan kekuatan intensi sosial dalam memberi perlindungan kepada seluruh warga negara, efek kehadiran UU PKDRT dan UU TPKS akan melemah lantaran ketidakmampuan sejumlah elemen dalam memaknai esensi perlindungan.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu mendorong kendala dalam proses hukum berbagai kasus kekerasan harus segera diatasi agar para korban KDRT dan tindak kekerasan seksual di tanah air mendapatkan hak perlindungannya sebagai warga negara.
"Kendala belum adanya aturan pelaksana dan masih lemahnya pemahaman serta kapasitas aparat penegak hukum dalam menjalankan amanat UU harus segera diatasi," ungkapnya.
Diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) juga menghadirkan sejumlah narasumber.
Ada Kombes Ciceu Cahyati Dwimeilawati (Analis Kebijakan Madya Bidang Pidum Bareskrim Polri), Erni Mustikasari (Jaksa Ahli Madya pada JAM Pidum Kejaksaan Agung), dan Melani (Anggota Dewan Kehormatan DPD Kongres Advokat Indonesia/KAI Jawa Barat).
Selain itu, hadir pula Siti Mazumah (Sekretariat Nasional Forum Pengada Layanan) dan Eva Kusuma Sundari (Direktur Institut Sarinah/ Koordinator Koalisi Sipil Untuk RUU PPRT) sebagai penanggap.
Analis Kebijakan Madya Bidang Pidum Bareskrim Polri Kombes Ciceu Cahyati Dwimeilawati mengungkapkan selama ini kepolisian sudah memiliki sejumlah dasar hukum untuk menangani kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan.
Dalam rentang 2018-2022, ungkap Kombes Ciceu, tindak kekerasan yang menimpa perempuan terbanyak dalam bentuk KDRT, perkosaan dan pencabulan.
Dia mengungkapkan keterbatasan jumlah SDM penyidik, ahli dan biaya pemeriksaan untuk pembuktian ilmiah yang relatif mahal menjadi kendala dalam penanganan kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, anak dan penyandang disabilitas.
Pada kesempatan itu, Ciceu merekomendasikan sejumlah upaya agar implementasi UU PKDRT dapat dilakukan dengan baik, antara lain dalam bentuk sistem monitoring dan evaluasi terpadu untuk membenahi kekurangan dalam implementasi UU PKDRT sehingga bisa menjadi edukasi masyarakat agar tidak terjadi pengulangan kasus dengan modus dan motif yang sama.
Selain itu, perlu ada pedoman kesepahaman bersama mengenai substansi UU PKDRT antara aparat penegak hukum dan kerja sama kelompok kerja perempuan anak terpadu antar aparat penegak hukum yang berprespektif HAM dan gender.
Jaksa Ahli Madya pada JAM Pidum Kejagung Erni Mustikasari mengungkapkan UU PKDRT yang sudah berlaku sejak diundangkan 20 tahun lalu, cukup menghadapi banyak kendala dalam penerapannya.
Karena kehadiran undang-undang tersebut, jelas Erni, bertujuan selain untuk mencegah terjadinya kekerasan dan melindungi korban KDRT, sekaligus untuk memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis.
Tujuan UU PKDRT tersebut, menurut Erni, menyebabkan aparat penegak hukum kesulitan dalam penyelesaian sejumlah kasus KDRT.
Dalam proses hukum, tambah dia, saksi-saksi yang hadir bisa dipastikan memiliki kedekatan dengan terdakwa, sehingga pembuktiannya cukup sulit.
Setelah diundangkannya UU TPKS, menurut Erni, harus segera dilakukan harmonisasi antara KUHP yang baru serta UU PKDRT agar sejumlah aturan terkait perlindungan dalam kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan itu dapat diaplikasikan dengan baik.
Anggota Dewan Kehormatan DPD KAI Melani menambahkan, harapan utama diberlakukannya UU PKDRT sejatinya untuk mengakhiri budaya kekerasan sejak dari rumah tangga, tercapainya kesetaraan gender dan zero tolerance terhadap kekerasan.
Namun, kata Melani, kasus KDRT cenderung meningkat saat ini. Hal itu, menurut dia, kurang sosialisasi sehingga masyarakat dan aparat penegak hukum seringkali salah persepsi terkait kehadiran UU tersebut.
Bahkan, ungkap Melani, ada putusan pengadilan, pascahadirnya UU TPKS, yang membebaskan terdakwa tindak kekerasan seksual, karena sejumlah bukti kekerasan seksual tidak dihadirkan oleh hakim.
"Undang-Undang TPKS cukup rumit dalam memahaminya sehingga perlu pendidikan dan pelatihan lebih lanjut bagi para aparat penegak hukum," ungkapnya.
Sekretariat Nasional Forum Pengada Layanan Siti Mazumah mengungkapkan dalam penanganan kasus-kasus tindak kekerasan seksual menghadapi sejumlah kendala, antara lain dalam bentuk keterbatasan sumber daya dan dana dalam proses hukum, yang dialami korban.
Selain itu, kata Siti, juga kompetensi pendamping dan aparat penegak hukum yang belum sesuai dengan yang diamanatkan UU PKDRT dan UU TPKS sehingga ada kasus kekerasan seksual berbasis elektronik diselesaikan dengan menggunakan UU ITE.
Dalam sejumlah kasus tindak kekerasan seksual dan KDRT, ungkap Siti, bahkan tidak sedikit korban diadukan balik oleh terdakwa.
Ironisnya proses hukum pengaduan dari terdakwa bisa lebih cepat daripada proses hukum yang diajukan korban.
Fenomena itu, tegas Siti, menyebabkan banyak korban KDRT dan tindak kekerasan seksual memilih jalan pengadilan perdata untuk melakukan perceraian, demi memutus mata rantai kekerasan yang dialaminya.
Direktur Institut Sarinah Eva Kusuma Sundari berpendapat kemampuan para penegak hukum merupakan kunci dari pelaksanaan UU PDKT dan UU TPKS.
Semangat pro terhadap korban, tegas Eva, harus dimiliki oleh setiap aparat penegak hukum.
Pasalnya dalam beberapa kasus tindak kekerasan seksual dan KDRT, ada aparat hukum yang malah mengedepankan upaya damai.
Akhirnya, tambah dia, korban kekerasan seksual dan KDRT tidak sampai pengadilan sehingga tidak mendapat keadilan.
Wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat kecenderungan korban tindak kekerasan seksual dan KDRT adalah perempuan sehingga perlu dipertimbangkan dalam proses hukum kasus-kasus tersebut aparat penegak hukum seperti polisi, hakim dan jaksa yang bertugas adalah perempuan.
"Agar proses hukum yang berjalan bisa diterapkan dengan perspektif kaum perempuan," tegas Saur Hutabarat.
Sebab, menurut Saur, semua kejahatan seksual dan KDRT, salah satunya bersumber dari budaya patriarki yang berlaku di masyarakat. (mrk/jpnn)
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi