jpnn.com - JAKARTA - Pendapatan negara dari cukai selalu menjadi salah satu andalan APBN. Direktorat Jendeal Bea dan Cukai (DJBC) mencatat penerimaan cukai per 13 September 2013 mencapai Rp 76,3 triliun. Bahkan, angka tersebut lebih tinggi dari target yang ditetapkan hingga periode tersebut, yakni sebesar Rp 74,1 triliun.
Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Susiwijono Moegiarso mengatakan, peningkatan target penerimaan cukai tersebut mengompensasi terjadinya penurunan target penerimaan pajak. Target pajak turun dari Rp. 1.192,9 triliun menjadi Rp. 1.148,4 triliun. Sebaliknya, target cukai dalam APBN Perubahan 2013 naik menjadi Rp 104,7 triliun, atau meningkat dari ketetapan APBN 2013 yang hanya Rp 92 triliun.
BACA JUGA: Kementerian PU Optimis Serapan Anggaran 90 Persen
Susiwijono memerinci, penerimaan cukai masih menjadi kontributor terbesar, yakni mencapai 71,05 persen dari penerimanaan total bea dan cukai. Kenaikan tersebut, sebutnya, didorong oleh kenaikan volume produksi hasil tembakau. Cukai hasil tembakau (HT) menyumbang sekitar 96 persen. "Tahun ini sangat tinggi mencapai 340 miliar batang sigaret keretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret keretek tangan (SKT)," jelasnya.
Menurutnya, kenaikan volume produksi ini terjadi lantaran ekspansi pabrik, penambahan mesin baru, dan penambahan lini produksi dan shift kerja dari pengusaha rokok besar seperti PT HM Sampoerna atau PT Wismilak Tbk. Sampoerna diketahui membuka pabrik baru SKT di Jember, sementara Wismilak menambah lini produksi di Surabaya.
BACA JUGA: Penyelesaian Sengketa Buruh BRI Patut Dicontoh
Sebaliknya, penerimaan cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA) hanya 3,81 persen, sementara cukai etil alkohol (EA) sebesar 0,13 persen. Untuk meningkatkan porsi penerimaan cukai dari produk minuman keras tersebut, DJBC bakal mengubah sistem pengenaan cukai pada minuman beralkohol"golongan A yang memiliki kadar alkohol di bawah lima persen. Semula, pengenaan cukainya memakai laporan pelunasan cukai, namun ke depan diubah menjadi pelekatan pita cukai seperti yang selama ini dilakukan pada rokok.
Ia menyebutkan, dengan perubahan ini pihaknya optimistis mampu meningkatkan pendapatan negara hingga double digit. "Di negara lain yang menerapkan pelekatan pita cukai pada produk minuman alkohol, pendapatan cukainya naik 5-10 persen. Karena itu terus kami kaji," jelasnya.
BACA JUGA: Monorel Peti Kemas Pertama di Dunia Lahir di Surabaya
Menurutnya kebijakan pengenaan cukai minuman alkohol (minol) golongan A dari laporan pelunasan yang didasarkan pada laporan jumlah produksi dianggap kurang optimal. "Ya bukan dalam artian ada potential loss, namun rata-ratanya jadi hanya Rp 4,5 triliun per tahun," jelasnya. Namun, ia menyebutkan, kebijakan ini tidak bisa dilaksanakan langsung tahun depan dan perlu masa transisi setidak-tidaknya enam bulan.
Di samping itu, Susiwiyono memaparkan, pihaknya juga berencana mengganti sistem tarif cukai minuman berlakohol dengan golongan yang sama dengan menggunakan tarif advalorum, dari sebelumnya menerapkan tarif spesifik. Tarif advalorum pada pungutan cukai ini didasarkan besaran persentase tertentu, yang dikalikan dengan harga dasar tertentu. Hal itu menggantikan tarif spesifik yang didasarkan variable-variabel seperti volume dan jumlah.
"Yang ini masih dikaji karena cukup rumit. Karena minuman alkohol golongan A cukup banyak, sehingga kami harus mengetahui satu per satu nilainya. Nah, di sini rentan terjadi moral hazard antara penilai dan produsen," tegasnya. (gal/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Desak Rupiah Gantikan Ringgit
Redaktur : Tim Redaksi