"Penyimpangan penetapan upah minimum lebih didasari untuk kepentingan politik. Ini bisa dikatakan sebagai dampak otonomi daerah yang otoriter dan juga alat politik," ungkap Anton saat diskusi tripartit antara pemerintah, pengusaha, dan buruh di Gedung Kemenakertrans, Jakarta, Rabu (26/9).
Anton menjelaskan, unsur-unsur yang terdapat di dalam Dewan Pengupahan juga tidak taat kepada peraturan perundang-undangan khususnya yang mengatur tentang penetapan upah minimum. Bahkan, lanjut Anton, saat ini dirasakan bahwa dewan pengupahan cenderung memaksakan besaran upah minimum melebihi besaran Kebutuhan Hidup Layak (KHL) tanpa dasar hukum apapun.
"Situasi ini semakin rumit karena kewenangan bupati/walikota dalam mengusulkan besaran UMK jug untuk kepentingan politik. Gubernur tidak pernah memenuhi kewajiban untuk menetapkan tingkat pencapaian KHL di daerahnya masing-masing," paparnya.
Dengan kondisi demikian, Anton menyarakan agar dalam proses penetapan upah minimum tidak boleh mengabaikan faktor produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. "Oleh karena itu, demi keadilan seharusnya penetapan upah minimum selain memperhatikan KHL, produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, juga harus memperhatikan keadaan dunia usaha," tuturnya. (Cha/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Polri-BNN Siap Berantas Sindikat Narkoba Internasional
Redaktur : Tim Redaksi