jpnn.com, JAKARTA - Kubu Harijanto Karjadi terus mempersoalkan kejanggalan dalam vonis dua tahun penjara terhadap bos Hotel Kuta Paradiso tersebut. Salah satunya adalah tuduhan pemalsuan akta yang menjadi dasar dakwaan jaksa penuntut umum.
Petrus Bala Pattyona, koordinator tim penasihat hukum Harijanto Karjadi menegaskan, sampai saat ini Akta No. 10 tentang pengalihan saham PT GWP milik Hartono Karjadi kepada Sri Karjadi pada 2011 secara hukum tidak pernah dinyatakan palsu.
BACA JUGA: Anggap Putusan Hakim Janggal, Bos Hotel Kuta Paradiso Siapkan Langkah Banding
Karena itu, adalah aneh dan janggal ketika majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar memvonis Harijanto Karjadi dengan pidana dua tahun penjara.
“Jadi saat klien kami (Harijanto Karjadi) dinilai terbukti menggunakan akta otentik yang dipalsukan, tentu tidak tepat karena akta yang dimaksud tidak pernah dinyatakan palsu. Tapi kami maklumlah. Hakim kan bisa khilaf,” kata Petrus, dalam keterangan persnya, Senin (3/2).
BACA JUGA: Bos Kuta Paradiso Minta Hakim Tolak Semua Dakwaan
Menurut dia, Akta No. 10 tentang pengalihan saham dari Hartono Karjadi kepada Sri Karjadi pada 12 November 2011 yang menjadi dasar dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) sampai hari ini secara hukum tidak pernah dinyatakan palsu atau berisi keterangan palsu.
“Jadi bagaimana mungkin akta yang belum pernah dinyatakan palsu sekonyong-konyong sudah dianggap palsu, dan klien saya dituding menggunakan akta yang dianggap palsu itu sehingga dinyatakan terbukti bersalah sesuai Pasal 266 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” katanya.
BACA JUGA: Sidang Bos Hotel Kuta Paradiso: Pakar Sebut Pengalihan Saham Ranah Perdata
Petrus menguraikan kejanggalan dan keanehan pertimbangan putusan majelis hakim terkait Akta No. 10 sebagai dasar dakwaan dan tuntutan yang diajukan JPU serta kaitannya dengan Akta No. 11 tentang perubahan susunan pengurus PT GWP yang dikirimkan oleh notaris I Gusti Ayu Nilawati ke Kemenkumham pada 2011.
Karena itu, pihaknya berharap majelis hakim pengadilan tinggi bisa memberikan putusan yang lebih masuk akal dan adil terkait dengan upaya banding yang diajukannya.
Seperti diketahui, tim JPU yang dikoordinir I Ketut Sujaya mendakwa Harijanto Karjadi dengan tiga dakwaan alternatif, yaitu Pasal 266 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 266 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 372 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam tuntutannya, JPU menilai bahwa dalam proses persidangan, dakwaan Pasal 266 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP terbukti, sehingga pihaknya mengajukan tuntutan pidana 3 tahun penjara terhadap Harijanto Karjadi.
Namun, majelis hakim dalam pertimbangan putusannya justru menyatakan bahwa terdakwa Harijanto Karjadi tidak terbukti sebagai pelaku dugaan tindak pidana memberikan atau turut menyuruh memberikan keterangan palsu dalam akta otentik sesuai Pasal 266 ayat (1) KHUP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Hartono, Harijanto, dan Sri adalah kakak-beradik kandung keluarga besar Karjadi. Selain menjabat Dirut PT GWP, Harijanto juga pemilik saham mayoritas perusahaan yang mengoperasikan Hotel Kuta Paradiso tersebut. Sementara Hartono adalah pemegang saham minoritas, yang atas alasan kesehatan, menjual dan mengalihkan sahamnya kepada Sri Karjadi pada November 2011.
Perkara pidana itu bermula dari laporan yang dibuat Desrizal, kuasa hukum Tomy Winata pada 27 Februari 2018 ke Ditreskrimsus Polda Bali, sehubungan dugaan pemberian keterangan palsu dalam akta otentik gadai saham dengan terlapor Hartono Karjadi dan Harijanto Karjadi.
Berdasarkan surat dakwaan JPU, Tomy Winata merasa dirugikan lebih dari USD 20 juta terkait dengan peristiwa pengalihan saham pada 12 November 2011 dari Hartono ke Sri tersebut. Padahal Tomy Winata sendiri membeli hak tagih piutang PT GWP yang diklaim Bank China Construction Bank Indonesia (CCBI) pada 12 Februari 2018 itu dengan harga Rp 2 miliar. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil