Pengacara Sebut Kasus Ahok Mirip Sengkon dan Karta

Sabtu, 13 Mei 2017 – 20:56 WIB
Ahok. Ilustrasi Foto: Jawa Pos/dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Perkara penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama akan memasuki proses banding di Pengadilan Tinggi, setelah adanya putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang memvonis dua tahun penjara dan perintah penahanan untuk pria yang beken dipanggil Ahok itu.

Pengacara Ahok, I Wayan Sudirta mengatakan, apa yang terjadi pada Ahok ini mengingatkan pada kasus Sengkon dan Karta yang menjadi korban kesalahan vonis karena mereka sebenarnya tidak bersalah pada tahun 1977 silam.

BACA JUGA: Hidayat Nur Wahid: Bisa Kacau Negara Ini

“Kasus (Ahok) ini harus mengingatkan kita kepada kasus Sengkon dan Karta yang menjadi korban putusan pengadilan. Mereka tidak bersalah tapi dihukum. Jadi, jangan sampai Ahok menghadapi peradilan sesat,” kata Wayan dalam diskusi Dramaturgi Ahok di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (13/5).

Sekadar informasi kasus Sengkon dan Kerta dianggap melahirkan peninjauan kembali dalam proses hukum yang lebih tinggi dari kasasi.

BACA JUGA: Indahnya Kebersamaan FPI dan Warga Bersihkan Lilin Sisa Aksi Massa Ahok

Pada Oktober 1977, Sengkon dan Karta divonis pengadilan atas tuduhan pembunuhan. Sengkon divonis 12 tahun penjara. Sedangkan Karta diganjar hukuman tujuh tahun penjara.

Setelah kurang lebih lima tahun menjalani hukuman, ada seorang bernama Genul yang mengakui sebagai pelaku pembunuhan. Genul juga merupakan penghuni penjara tersebut. Sedangkan Sengkon dan Karta sudah diputus bersalah bahkan hingga proses kasasi.

BACA JUGA: Hmmm, Sepertinya Ada Pihak Ingin Vonis Ahok Jadi Isu Internasional

Lebih lanjut Wayan mengatakan perkara Ahok ini sebenarnya sudah janggal sejak awal. Menurut dia, 10 dari 14 jaksa penuntut umum yang menangani persidangan Ahok, menyatakan tidak ada bukti pidana yang dilakukan kliennya.

Selain itu, tidak ada peringatan terlebih dahulu yang diberikan kepada kliennya, mengingat yang digunakan adalah pasal 156 a KUHP.

Sedangkan enam dari sembilan ahli, menyatakan tidak ada bukti Ahok melakukan penodaan agama. Bahkan, kata dia, sebelumnya di tingkat kepolisian pun penyelidik dan penyidik terbelah.

“Artinya keraguan sejak awal ada. Tapi, karena tekanan semuanya berubah. Lalu muncullah kebijaksanaan baru penyidikan tanpa surat perintah penyidikan,” jelasnya.

Selain itu, kata Wayan, surat keputusan Kapolri bahwa pasangan calon kepala daerah tidak boleh diperiksa saat proses pilkada juga diterabas.

“Terakhir ini bukan kata saya, tapi kata orang yang sampai ke saya karena saya percaya ke pengadilan dan majelis, tolong Pengadilan Tinggi jangan diatur remote politik di luar,” katanya.

Sebab, Wayan berujar, sudah beredar isu remote politik di luar sangat kencang untuk mengatur putusan banding nanti. Karenanya, Wayan mengingatkan, jangan sampai PT tidak independen.

“Jangan sampai tidak bebas memutuskan karena ada remote dari luar. Remote itu dari luar pengadilan, tapi masih di sekitar kita juga,” katanya.

Lebih lanjut dia mengaku tidak ingin menyinggung pengadilan dan majelis hakim. Tapi, Wayan menitipkan pesan yang selalu disampaikan orang tuanya.

Pesan itu, kata dia, yakni seburuk apa pun keadaan ekonomi dan politik di satu negara, jika hukum dan pengadilan masih tegak bangsa ini punya harapan maju.

“Namun kalau hukum tidak tegak, ada remote dari luar, ini membahayakan persatuan kita. Mari tegakkan hukum agar pengadilan tidak ditekan,” tuntasnya. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tak Menduga Ahok Ditahan, PH: Putusan Penuh Nuansa Politik


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler